Pemerintah Bali Dianggap Tak Becus Lindungi Rakyat dari Banjir, Warga Ancam Gugat dalam 60 Hari

Pemerintah Bali Dianggap Tak Becus Lindungi Rakyat dari Banjir, Warga Ancam Gugat dalam 60 Hari
Suasana junpa pers.

DENPASAR – Kegagalan pemerintah melindungi rakyat dari bencana kembali memicu perlawanan. Kali ini, warga Bali yang tergabung dalam Koalisi Pergerakan Untuk Lingkungan Hidup dan Keberlanjutan Bali (PULIHKAN BALI) resmi melayangkan notifikasi Citizen Lawsuit (CLS) terhadap Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Mereka menilai negara gagal melindungi warga dari bencana banjir besar yang melanda Bali pada September 2025 dan menewaskan 18 orang.

Koalisi menegaskan, banjir tersebut bukan sekadar akibat curah hujan ekstrem, melainkan buah dari kegagalan sistemik pemerintah dalam mengelola ruang hidup dan lingkungan.

“Banjir ini bukan musibah alam semata, tapi akibat dari keserakahan pembangunan dan abainya negara terhadap tata ruang dan lingkungan,” tegas Ignatius Rhadite, Tim Advokasi PULIHKAN BALI, dalam siaran pers yang diterima Selasa (12/11).

Melalui konferensi daring, Ida Bagus Mandhara Brasika menyampaikan bahwa 15 lembaga pemerintahan — mulai dari Presiden RI hingga kepala daerah di Bali — turut dimasukkan dalam daftar pihak tergugat. Gugatan tersebut menyoroti pelanggaran terhadap hak konstitusional masyarakat atas lingkungan hidup yang bersih dan aman, sebagaimana dijamin Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 dan UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Mandhara memaparkan data mencengangkan: antara 2019 hingga 2024, Bali kehilangan 6.522 hektare sawah atau lebih dari 1.000 hektare per tahun, terutama akibat ekspansi properti dan pariwisata digital pascapandemi. Lahan terbangun di kawasan Sarbagita meningkat 501% sejak 2010, sementara hutan di DAS Ayung kini tinggal 3%.

“Ini bukan pembangunan, ini penghapusan ruang hidup rakyat,” ujar Suriadi Darmoko, anggota Koalisi.

Koalisi juga menyoroti defisit ruang terbuka hijau (RTH) di Denpasar yang hanya 3,2% dari total wilayah, jauh dari ambang minimal 30% yang diamanatkan undang-undang. Akibatnya, saat hujan ekstrem turun, sistem drainase yang dangkal dan tersumbat tak mampu menahan limpasan air.

Kondisi diperburuk oleh pengelolaan sampah yang amburadul. Data Koalisi menunjukkan timbulan sampah meningkat dari 800 ribu ton (2019) menjadi lebih dari 1,2 juta ton (2024), dan 52% di antaranya tak tertangani. Setiap tahun, sekitar 33 ribu ton sampah mengalir ke perairan Bali.

Ironisnya, di tengah risiko bencana yang meningkat, fasilitas mitigasi di ruang publik nyaris tak ada. Jalur evakuasi minim, pasar dan gedung publik tak memiliki petunjuk penyelamatan layak, bahkan sebagian korban banjir meninggal karena terjebak dalam bangunan tanpa akses evakuasi.

Atas dasar itu, Koalisi PULIHKAN BALI menuntut pemerintah menempuh lima langkah konkret dalam waktu 60 hari, antara lain:

1. Moratorium izin investasi dan proyek pembangunan yang merusak lingkungan.

2. Penyusunan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) untuk kawasan Sarbagita secara partisipatif.

3. Audit kebijakan pembangunan dan tata ruang yang memperparah bencana iklim.

4. Pembentukan Perda Keadilan Iklim yang menjamin mitigasi, adaptasi, dan kompensasi kerusakan lingkungan.

5. Dialog terbuka antara pemerintah dan warga sebelum gugatan resmi diajukan ke Pengadilan Negeri Denpasar.

Jika dalam 60 hari tidak ada tanggapan memadai, warga bersama Koalisi akan melanjutkan gugatan ke pengadilan.

“Bali tidak butuh seremonial penanaman pohon atau baliho hijau. Yang dibutuhkan adalah keberanian negara mengoreksi arah pembangunan yang salah,” tegas Oka Agastya, dari tim ahli Koalisi.

Aksi warga ini menjadi alarm keras bahwa krisis ekologis Bali bukan lagi ancaman masa depan, melainkan kenyataan hari ini. Negara yang lalai menjaga rakyat dan lingkungannya kini berhadapan dengan gugatan moral dan hukum dari rakyatnya sendiri. (Ray)