Birokrasi Bingung Arah, Bandara Bali Utara Tersandera Tafsir Pejabat
DENPASAR – Kisruh soal pembangunan Bandara Internasional Bali Utara kembali menyeruak, menelanjangi kebingungan birokrasi di tubuh Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali. Padahal, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 12 Tahun 2025 telah tegas mencantumkan “Pembangunan Bandara Internasional Bali Baru/Bali Utara” sebagai salah satu program strategis nasional.
Namun, pernyataan Plt. Kepala Dinas Perhubungan Provinsi Bali, Nusakti Yasa Weda, justru membuat publik geleng kepala. Ia menyebut Perpres tersebut tidak secara eksplisit menetapkan lokasi bandara. Pernyataan itu sontak menuai kritik, terutama dari pengamat kebijakan publik Putu Suasta, yang menilai komentar tersebut menunjukkan ketidakmampuan birokrasi membaca dokumen kebijakan negara secara utuh.

“Pernyataan seperti itu mencerminkan kebingungan birokrasi. Seolah membuka ruang tawar baru untuk memindahkan proyek strategis itu dari Bali Utara ke wilayah lain,” ujar Putu Suasta.
Menurut Nusakti, lampiran Perpres 12/2025 memang memuat sejumlah arahan strategis, termasuk rencana bandara baru, namun masih bersifat “arahan”. Ia menegaskan bahwa penentuan lokasi tetap harus melalui studi kelayakan sesuai ketentuan hukum dan standar International Civil Aviation Organisation (ICAO).
Putu Suasta menilai tafsir seperti itu sangat berbahaya. “Perpres itu bukan sekadar arahan. Itu produk hukum di bawah undang-undang. Artinya, arah pembangunan kewilayahan Bali sudah dikunci, bukan ruang negosiasi pejabat,” tegasnya.
Menurutnya, pasal 2 ayat 8 Perpres tersebut sudah jelas menyebut bahwa RPJM Nasional wajib ditaati oleh seluruh pelaku pembangunan pemerintah. Artinya, tidak ada lagi ruang tafsir lain soal lokasi bandara yang sudah diarahkan ke Kubutambahan, Bali Utara.

“Kalau pejabat sendiri tidak bisa membaca Perpres dengan benar, bagaimana mungkin bisa memimpin pelaksanaan kebijakan kompleks seperti pembangunan bandara internasional?” sindir Suasta.
Isu perpindahan lokasi ke wilayah barat Bali, seperti Sumberklampok, kembali mencuat di tengah kabut kebingungan birokrasi ini. Padahal, semangat awal Perpres yang disusun Bappenas adalah pemerataan pembangunan antara Bali Selatan yang sudah sangat maju dan Bali Utara yang tertinggal secara infrastruktur.
Data Bappenas tahun 2024 menunjukkan ketimpangan tajam: 87 persen PDRB Bali bersumber dari wilayah selatan, sementara Bali Utara hanya menyumbang 8 persen. Bandara di utara diharapkan menjadi simbol pemerataan dan penggerak ekonomi baru.
Namun, pernyataan ambigu dari pejabat Pemprov justru memperpanjang ketidakpastian. Investor yang sejak 2020 sudah menunjukkan minat—termasuk dari Kanada dan Tiongkok—kini kembali menunggu arah yang jelas.
“Siapa yang mau menanamkan modal kalau arah kebijakan berubah tiap pejabat bicara? Kita bicara proyek triliunan rupiah,” kata Suasta menegaskan.

Ia memperingatkan, jika Pemprov Bali tetap bersikap ragu dan terus menebar tafsir berbeda, maka yang hilang bukan hanya kesempatan membangun bandara, tapi juga kepercayaan publik dan investor.
“Kalau Pemprov Bali terus bersikap ragu, sejarah akan mencatat bahwa kesempatan besar untuk memajukan Bali Utara hilang bukan karena dana, tapi karena kebingungan birokrasi,” pungkasnya.
Bandara Bali Baru bukan sekadar proyek transportasi, tapi simbol keadilan wilayah. Jika arah kebijakan terus kabur, maka yang lebih dulu terbang bukan pesawat—melainkan investor dan kepercayaan publik. (Tim)

