Perlunya Perkerasan Jalan? NormalisasiTukad Ngenjung Juga Tak Pasang Plang Pendanaan

DENPASAR – Proyek Normalisasi Sungai Tukad Ngenjung di kawasan konservasi Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai, Desa Adat Sidakarya, kini memunculkan tanda tanya besar. Proyek yang disebut sebagai upaya mitigasi banjir atas permohonan Desa Adat Sidakarya itu ternyata menyimpan banyak kejanggalan — dari sisi transparansi, pendanaan, hingga dugaan adanya akses tersembunyi menuju kawasan industri baru di tengah hutan mangrove.
Proyek ini dijalankan berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.85 Tahun 2014 jo. P.44 Tahun 2017, yang mengatur pemanfaatan kawasan Tahura untuk mitigasi bencana melalui skema kerja sama. Namun, di lapangan, “normalisasi” ini justru memperlihatkan aktivitas yang jauh berbeda dari semangat konservasi.
Awak media yang mencoba menelusuri proyek tersebut dihadang oleh orang yang mengaku sebagai penjaga utusan Desa Adat Sidakarya. Area proyek tertutup rapat, tanpa papan informasi yang seharusnya menjadi bagian dari keterbukaan publik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Tak ada keterangan nilai proyek, sumber anggaran, maupun pelaksana kegiatan.
Dari pengamatan lapangan, terlihat adanya pelebaran jalan sekitar tiga meter dengan urugan limestone yang memperkeras permukaan tanah. Alih-alih membuat jalur melayang di atas mangrove untuk menjaga ekosistem, proyek ini justru mengorbankan vegetasi mangrove di sekitar sungai. Lebarnya jalan menimbulkan dugaan bahwa jalur tersebut bukan sekadar akses untuk kegiatan keagamaan seperti Melasti, melainkan bisa dilalui truk besar atau tronton—menuju lokasi yang disebut-sebut bakal menjadi kawasan industri baru.
“Kalau normalisasi, mestinya fokus pada pengerukan dan pelebaran alur sungai, bukan membuat badan jalan permanen. Ini aneh,” ujar seorang warga di warung kopi sekitar lokasi, yang enggan disebutkan namanya. Ia pun menambahkan, warga mulai curiga bahwa proyek normalisasi ini hanyalah “modus legalisasi” pembangunan jalan menuju kawasan industri.
Setelah terusir dari lokasi proyek, awak media menemui Jro Bendesa Adat Sidakarya, Ketut Suka. Ia membenarkan proyek tersebut memang untuk mitigasi banjir yang sudah diusulkan sejak 2009.
“Tumbuhan bakau yang terlalu lebat menutupi aliran air dan menumpuk sampah plastik. Ya benar, dulu kami yang menanam mangrove untuk penghijauan,” ungkapnya, Selasa (7/10/2025).
Menurutnya, pada tahun 2022 pihak desa kembali mengajukan permohonan ke Kementerian PUPR, hingga akhirnya keluar rekomendasi resmi pada 26 Desember 2023 yang mengizinkan kegiatan mitigasi banjir tersebut.
Soal pendanaan, Ketut Suka menjelaskan bahwa awalnya BWS Bali-Penida memberikan bantuan sebesar Rp160 juta. Namun, seiring berjalannya waktu, biaya membengkak dan masyarakat bergotong royong melanjutkan pekerjaan. “Untuk kegiatan adat dan keagamaan seperti Melasti, warga bersama LPD dan desa dinas ikut membantu. Totalnya kalau diuangkan sekitar Rp1,3 miliar,” ujarnya.
Meski demikian, angka itu masih dianggap tak masuk akal untuk proyek sebesar itu. Ketut Suka akhirnya menambahkan, “Kami juga dapat bantuan dari Pemerintah Kota Denpasar dan Kabupaten Badung senilai Rp20 miliar dalam bentuk proyek.”
Sementara itu, Ketut Subandi, mantan Kepala UPTD Tahura Ngurah Rai, ketika dihubungi lewat pesan elektronik, menyebut bahwa proyek tersebut merupakan bagian dari Kerja Sama Strategis untuk mitigasi banjir yang telah mendapat persetujuan dari Dirjen KSDAE Kementerian Kehutanan. Namun, ketika ditanya lebih lanjut soal pendanaan, ia justru mengarahkan untuk menanyakan kembali kepada Bendesa Adat Sidakarya.
“Ngih, artinya sudah jelas,” katanya singkat.
Ketika ditelusuri lebih lanjut, Subandi kemudian menyarankan agar pertanyaan mengenai pendanaan dilayangkan kepada Agus Juli, Kepala UPTD Tahura Ngurah Rai yang baru. Sebelumnya, Agus Juli sempat mengatakan bahwa dananya berasal dari Pemkot Denpasar, namun tanpa menyebutkan nominal pasti.
Dengan tak adanya papan informasi, data anggaran yang simpang siur, dan aktivitas proyek yang lebih menyerupai pembangunan jalan daripada normalisasi sungai, publik pun wajar mencium aroma kejanggalan. Apakah proyek “mitigasi banjir” ini hanyalah pintu masuk menuju kawasan industri tersembunyi di balik mangrove Sidakarya? (Ray)