Gowok! Guru Kamasutra Lelaki Jawa yang Nyaris Terlupakan

Yogyakarta – Dalam lembaran sejarah budaya Jawa yang nyaris tenggelam, tersimpan praktik unik yang mungkin sulit dipercaya masyarakat masa kini: Gowok – seorang perempuan yang berperan sebagai guru kehidupan asmara bagi para lelaki muda. Makinuddin Samin, budayawan sekaligus penulis yang mengangkat kembali praktik ini, menyebut gowok sebagai “Guru Kamasutra Lelaki Jawa”.
“Gowok bukan perempuan penghibur. Ia adalah institusi pendidikan informal yang sangat penting dalam mempersiapkan lelaki Jawa menjadi ‘lelaki sejati’,” ungkap Makinuddin Samin saat diwawancarai.
Menurut Makinuddin, dalam masyarakat Jawa tempo dulu, gowok memiliki peran vital dalam pembentukan karakter dan pemahaman seksual seorang lelaki muda. Mereka tidak hanya mengajarkan teori tentang tubuh perempuan, titik-titik sensitif, hingga teknik mengatur napas dan gerak saat bersanggama, tetapi juga memberikan pengalaman langsung melalui praktik.
“Metodenya memang tidak bisa dilepaskan dari praktik langsung. Tapi jangan keliru memaknainya. Itu semua dilakukan dalam bingkai budaya dan pendidikan seksualitas yang utuh, bukan semata syahwat,” tambah Makinuddin.
Lelaki yang “disekolahkan” kepada seorang gowok biasanya adalah mereka yang baru baligh, baru sembuh dari luka khitan, atau yang hendak memasuki pernikahan. Bahkan, ada pula yang datang saat istrinya tengah hamil tua atau dalam masa nifas—bukan untuk belajar, tapi untuk memperoleh pelayanan berahi, sebuah hal yang menurut Makinuddin memang eksis dan “dilakukan tanpa rasa malu karena difasilitasi oleh sistem budaya yang terbuka.”
Lebih dari itu, relasi antara gowok dan siswanya bisa sangat mendalam. Tak jarang, mantan siswa justru jatuh hati, bahkan ada yang berniat menikahi gowoknya. “Itu tidak aneh. Karena selama proses pendidikan itu, seorang gowok memperlakukan siswa lelakinya layaknya suami,” jelasnya.
Menariknya, keputusan memilih gowok untuk calon pengantin pria bahkan menjadi bagian dari pembicaraan keluarga besar kedua belah pihak. “Gowok biasanya sudah punya langganan keluarga, sama seperti dukun bayi atau pawang hujan. Ini bentuk kearifan lokal yang dulu sangat terstruktur,” ungkap Makinuddin.
Dalam praktiknya, masa belajar kepada gowok berlangsung antara satu hingga dua minggu. Pelajaran bisa juga diberikan bukan hanya oleh si gowok utama, tetapi oleh asistennya, atau calon gowok yang tengah menjalani pelatihan.
Kini, tradisi itu telah sirna, atau setidaknya bersembunyi rapat di balik tabir tabu dan modernitas. Tapi lewat tulisan Makinuddin Samin yang sempat diunggah kembali oleh komunitas budaya Javanica, kita diingatkan bahwa sejarah memiliki sisi-sisi yang kompleks, mengejutkan, dan penuh warna.
“Kalau kita mampu membacanya dengan jernih, tradisi ini tidak semata erotis, tapi juga penuh dengan filosofi tubuh, kedewasaan, dan tanggung jawab dalam relasi,” tutup Makinuddin. (Ray)