Alarm Pariwisata! Bali Kehilangan Wisatawan Domestik, Ekonomi Lokal Terancam

BALI — Pulau Dewata tengah dilanda krisis senyap yang mengguncang fondasi industrinya. Jumlah wisatawan domestik yang biasanya menjadi tulang punggung kunjungan ke Bali, terutama saat libur Lebaran dan musim sekolah, justru anjlok tajam pada periode April hingga Juni 2025 dibandingkan tahun lalu.
Di tengah harapan pemulihan pasca-pandemi, kenyataan ini menjadi tamparan keras bagi pelaku pariwisata. Fenomena ini tidak terjadi tanpa sebab. Lima faktor utama muncul sebagai pemicu utama anjloknya kunjungan wisatawan lokal, layaknya bom waktu yang meledak bersamaan.
Faktor pertama adalah lesunya kondisi ekonomi nasional. Sejak awal 2025, Indonesia dihantam perlambatan ekonomi yang menyebabkan gelombang PHK dan penutupan banyak usaha. Akibatnya, masyarakat mulai mengencangkan ikat pinggang dan menunda liburan.
“Wisata kini jadi kemewahan. Orang lebih memilih bertahan hidup daripada plesir,” ungkap Made Wirawan, pelaku usaha travel di Bali.
Kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung tak lagi mendominasi pemesanan seperti biasanya. Kedua, momentum liburan yang biasanya jadi pendorong utama justru tak berdampak signifikan.
Pemerintah memang telah menetapkan cuti bersama Lebaran dan memperpanjang libur sekolah, namun hotel-hotel di kawasan strategis seperti Kuta dan Legian tetap melaporkan okupansi rendah.
“Kami kira liburan panjang jadi penyelamat, ternyata malah makin sepi,” kata Ni Luh Sari, manajer hotel di Kuta.
Faktor ketiga yang memukul sektor ini adalah menurunnya daya beli masyarakat. Banyak keluarga lebih memilih staycation atau aktivitas lokal murah dibanding berlibur ke Bali yang membutuhkan biaya besar.
Data BPS juga menunjukkan bahwa indeks konsumsi rumah tangga, khususnya untuk kebutuhan rekreasi dan hiburan, turun drastis pada kuartal kedua tahun ini. Keempat, mahalnya harga tiket pesawat menjadi keluhan paling keras dari masyarakat. Tarif Jakarta–Denpasar pulang-pergi yang dulu di bawah Rp1,5 juta kini bisa tembus Rp3 juta lebih.
“Untuk keluarga, tiket doang udah habis belasan juta. Mana cukup buat akomodasi dan makan?” keluh Ari Wibowo, warga Tangerang yang akhirnya membatalkan rencana liburan. Dan yang kelima, yang tak kalah memprihatinkan, adalah sentimen negatif yang muncul dari pelayanan wisata di Bali sendiri.
Banyak wisatawan lokal merasa diperlakukan berbeda dibanding turis asing. Beberapa unggahan viral menunjukkan keluhan diskriminasi yang memperkuat kesan bahwa wisatawan domestik tidak dihargai di negeri sendiri. “Ini bom waktu yang akhirnya meledak. Wisatawan lokal lelah merasa diabaikan,” ungkap seorang staf PHRI Badung.
Kondisi ini menjadi alarm keras bagi Bali untuk segera berbenah. Di tengah persaingan ketat dengan destinasi lain seperti Mandalika, Labuan Bajo, hingga Banyuwangi, Bali tidak bisa terus-menerus mengandalkan kejayaan masa lalu. Strategi promosi, pelayanan, dan harga harus direvitalisasi total.
Jika ingin kembali merebut hati wisatawan Nusantara, Bali harus mengembalikan nilai-nilai dasarnya—ramah, inklusif, dan menyambut semua wisatawan tanpa diskriminasi. “Jika Bali ingin tetap hidup, maka ia harus ingat jati dirinya: ramah, tulus, dan adil bagi semua pengunjung, bukan hanya bule,” tutup Sugeng Pramono, pelaku pariwisata. (Ray)