Dunia Berubah, Bali Tak (boleh) Takut Catatan Paradoks, Wayan Suyadnya

25 April 2025
DENPASAR - Sepanjang tahun 2024, Bali kedatangan 6.333.360 wisatawan mancanegara, meningkat 20,1% dibandingkan tahun sebelumnya dan bahkan melampaui angka sebelum pandemi pada 2019.
Bandara sibuk, jalanan riuh, kafe penuh senyum asing. Kemacetan di objek wisata juga tak terhindarkan. Bali terasa ramai wisatawan entah darimana.
Dunia tak selalu berjalan lurus. Ada paradoks yang menyelinap diam-diam, mestinya hotel-hotel penuh, justru pada saat ramai, mereka kehilangan tamu. Ramai, kok hotel sepi? Mereka nginap di mana?
Tingkat Penghunian Kamar (TPK) hotel berbintang pada bulan Oktober 2024 tercatat sebesar 63, 71 persen, angka ini memang naik dibandingkan bulan sama (Oktober) tahun 2023 yang tercatat 57,43%, tapi tetap saja membingungkan. Hotel-hotel non bintang malah lebih parah. Kamarnya banyak kosong seperti panggung tanpa penonton, separo lebih kamar hotelnya kosong.
Lantas, di mana para wisatawan itu bermalam?
Desas-desus berubah menjadi dugaan. Tudingan pelan-pelan mengarah, vila-vila tersembunyi, kamar kos yang disulap nyaman, bahkan rumah penduduk yang terbuka untuk dunia.
Mereka yang tak tercatat, tak terdata, tak terendus. Sistem formal ditinggalkan, realitas memilih jalur bayangan. Aplikasi? Ya, aplikasi yang ada sekarang sangat memudahkan memilih jalur bayangan itu.
Tak perlu layanan petugas hotel. Makan minum tinggal klik, tak perlu driver, jalan ke mana keliling Bali cukup buka maps. Aplikasi memudahkan segalanya.
Adakah yang salah?
Mungkin tidak. Ini bukan bencana, justru ini tanda kehidupan. Sebuah potensi yang luput dari radar aparat. Ini harus jadi peluang emas yang belum digarap?
Bayangkan jika tiap tempat menginap itu terdeteksi, jika tiap transaksi dikenai pajak yang semestinya. Bukankah ini tambang rezeki tersembunyi? Bukankah ini sumber PAD yang berlimpah?
Lihat Badung. Dalam kondisi "sepi" dan hotel banyak kosong, APBD 2025 ditetapkan Rp 10,7 triliun—nyaris seluruhnya dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), yaitu Rp 10,6 triliun. Luar biasa? Semua dari pariwisata.
Angka ini bisa bertambah berlipat-lipat, bila yang tak terlihat menjadi terlihat, bila vila, kos, dan rumah penduduk turut menyumbang, PAD Badung bisa melonjak, melampaui imajinasi.
Apalagi jika menilik sisi kepemilikan hotel berbintang. Sebagian besar dimiliki oleh investor dari luar Bali, bahkan luar negeri. Resah boleh, tapi tak salah lebih memikirkan warga sendiri.
Dengan begitu, bukankah lebih baik wisatawan langsung nginap di rumah warga, vila dan kos-kosan milik I Wayan, Made, Komang dan Ketut? Jangan justru vila-vila itu juga telah menjadi milik asing atau milik orang luar Bali juga. Ini malah lebih mengerikan.
Menginap di hotel berbintang pemiliknya dari luar Bali bahkan luar negeri, bayarannya juga tak turun ke bumi karena tinggal gesek? Lebih baik jangan dihalangi wisatawan tidur di kos atau di rumah warga.
Pertanyaannya; salahkah warga lokal menyewakan kamar atau vilanya langsung kepada wisatawan?
Ia menjadi salah bika tak berizin. Karena tak berizin, wisatawan tak tercatat. Karena tak tercatat, maka tak ia bayar pajak. Permasalahannya di sini.
Agar bayar pajak, catatlah, agar tercatat, berikan izin, agar bisa dapat izin, regulasi dipermudah.
Bila perlu tinggal klik, semudah beli makanan di aplikasi. Justru bila tidak tercatat, wisatawan tak ikut menyumbang pajak daerah. Ini ironi sekaligus peluang.
Bagaimana mencium jejak yang tersembunyi ini? Bagaimana menyapa tamu-tamu yang menghindar dari sistem tanpa membuat mereka pergi? Tidak sulit untuk itu karena Bali menjadikan daerahnya sebagai daerah tujuan wisata, bukan baru kali ini saja. Tuan Lange pada awalnya juga tidak nginap di hotel.
Khusus hotel, biarlah mereka bersaing dengan cara baru, mereka punya jejaring begitu luas. Mereka pasti tahu Dunia berubah, mereka tahu perilaku wisatawan memilih pengalaman yang lebih intim lewat aplikasi atau metode yang lain.
Tak mengapa mereka memilih vila atau kos, asal satu hal: kewajiban tetap dijalankan. Pajak tetap dibayar.
Yang jadi persoalan adalah ketidakadilan, jika hotel yang resmi menanggung beban, jika vila yang berizin kalah bersaing, sementara yang tak terdata bebas melenggang, tidak adil, tak boleh terjadi. Ini harus diminimalisasi.
Dunia berubah, Bali tak boleh takut pada perubahan. Keadilan adalah fondasi. Dan dalam dunia paradoks, bukan hanya mencatat angka, melainkan membaca yang tak tertulis, menangkap yang tak tampak, dan menata ulang sistem yang tertinggal oleh kenyataan. Aplikasi. (Tim)