Tomas Susruta Pertanyakan Keadilan Pemungutan Pajak, Pemkot Ingin Genjot PAD Rp2 Triliun, Tapi Jangan Hak Warga Diabaikan

Denpasar, 12 Juni 2025 — Rencana ambisius Pemerintah Kota Denpasar untuk menggenjot Pendapatan Asli Daerah (PAD) hingga Rp2 triliun mendapat sorotan tajam dari tokoh masyarakat (Tomas), Susruta Ngurah Putra. Menurutnya, peningkatan target pendapatan tidak akan adil jika tidak dibarengi dengan perlindungan dan pemenuhan hak-hak dasar masyarakat, itu ia ungkapkan dalam akun facebooknya.
“Hak dan kewajiban itu harus seimbang. Pemerintah punya hak memungut pajak dan retribusi, tapi juga punya kewajiban melindungi hak-hak masyarakat sesuai hukum yang berlaku,” tegas Susruta.
Pernyataan ini muncul setelah Pemkot Denpasar melalui sejumlah pejabatnya menyatakan keinginan untuk mendongkrak PAD sebagai bagian dari strategi pembangunan dan kemandirian fiskal daerah. Sumber utama PAD masih didominasi oleh pajak dan retribusi daerah, termasuk Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), pajak restoran, hotel, parkir, dan hiburan.
Namun menurut Susruta, semangat meningkatkan PAD harus dibarengi dengan pembenahan tata kelola pembangunan kota, termasuk penegakan hukum terhadap pelanggaran pembangunan dan jaminan terhadap hak-hak publik seperti akses jalan, ruang terbuka hijau, serta tertib tata ruang serta ketertiban dalam pembangunan sesuai dengan aturan yang berlaku.
“Bagaimana masyarakat bisa melaksanakan kewajiban membayar PBB, jika hak atas fasilitas jalan yang menjadi milik publik justru tidak bisa dilindungi oleh pemerintah? Banyak jalan lingkungan tertutup bangunan, ruang publik menyempit, tapi pungutan jalan terus,” tambahnya.
Sepertinya ia menekankan pada kasus yang sempat viral tanpa digubris pemerintah. Pembangunan Gedung Museum Agung Pancasila di Denpasar menuai kontroversi karena diduga melanggar aturan tata ruang dan perizinan. Bangunan tersebut disebut melampaui batas lahan sewa milik Pemerintah Provinsi Bali seluas 245 meter persegi, serta menyebabkan penyempitan badan jalan dari lebar semula 8 meter menjadi hanya 3 meter.
Meski telah mendapat Surat Peringatan III dari Dinas PUPR Kota Denpasar, pembangunan tetap berjalan tanpa tindakan tegas dari pemerintah setempat. Laporan yang sempat masuk ke Polda Bali kemudian dihentikan (SP3), dan kini kasus tersebut dilaporkan ke DPR RI.
Tokoh Puri Grenceng, Gung Susruta, menilai pembangunan ini menabrak berbagai regulasi, termasuk Undang-Undang No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, serta Permen PUPR No. 20/PRT/M/2018 tentang garis sempadan bangunan dan jalan. Ia menegaskan, mendirikan bangunan di atas badan jalan bukan hanya melanggar hukum, tetapi juga berpotensi membahayakan keselamatan masyarakat dan mengganggu fungsi fasilitas umum.
Susruta juga mengingatkan bahwa pembiaran terhadap pelanggaran ini bisa merusak wibawa hukum. Jika pembangunan yang jelas menyalahi aturan tetap dibiarkan hanya karena adanya kedekatan antara pemilik bangunan dengan penguasa, maka akan muncul iklim permisif yang membahayakan.
Ia menuntut agar pemerintah bersikap transparan dan tegas demi menjaga ketertiban tata ruang serta perlindungan terhadap kepentingan publik.
"Hak dan kewajibannya harus berimbang Bapak Walikota Denpasar yang budiman, " Pungkasnya. (Ray)