Dilema Ekspor Kelapa Untung Besar dari China, Harga Naik di Tanah Air

Dilema Ekspor Kelapa Untung Besar dari China, Harga Naik di Tanah Air
Kelapa ekspor ke China.

DENPASAR - Dalam beberapa tahun terakhir, ekspor kelapa dari Indonesia ke China mengalami peningkatan signifikan. Permintaan yang tinggi dari negeri Tirai Bambu, terutama untuk produk turunan seperti santan, krimer nabati, dan minyak kelapa, mendorong harga komoditas ini melonjak tajam. 

Di satu sisi, kondisi ini membawa keuntungan besar bagi petani dan eksportir. Namun, di sisi lain, masyarakat Indonesia menghadapi kenaikan harga kelapa yang cukup memberatkan, terutama bagi pelaku industri kecil dan rumah tangga.

China merupakan salah satu pasar utama kelapa Indonesia. Di sana, kelapa tidak hanya digunakan untuk kebutuhan dapur rumah tangga, tetapi juga diolah menjadi berbagai produk bernilai tinggi. 

Santan kelapa, misalnya, menjadi bahan dasar krimer non-dairy yang kini populer sebagai alternatif susu dalam industri makanan dan minuman. Minyak kelapa juga digunakan dalam industri kosmetik, farmasi, dan makanan olahan. Tingginya permintaan ini mendorong peningkatan volume ekspor dari Indonesia ke China.

Namun, peningkatan ekspor tersebut berdampak langsung terhadap ketersediaan kelapa di pasar domestik. Dengan banyaknya pasokan yang dikirim ke luar negeri, harga kelapa di dalam negeri melonjak. Industri makanan tradisional, UMKM, hingga konsumen rumah tangga yang biasa menggunakan kelapa untuk memasak, mulai merasakan imbasnya. 

Kenaikan harga ini memicu dilema: apakah ekspor yang menguntungkan harus terus digenjot, atau perlu dikendalikan demi menjaga stabilitas harga dalam negeri?

Pemerintah pun dihadapkan pada pilihan sulit. Menahan laju ekspor bisa berarti kehilangan devisa dan peluang pertumbuhan ekonomi. Namun, membiarkan harga terus naik tanpa regulasi dapat memicu keresahan sosial dan mengganggu keberlangsungan industri lokal yang bergantung pada bahan baku kelapa.

Solusi jangka panjang mungkin terletak pada peningkatan produktivitas dan hilirisasi industri kelapa. Dengan menambah luas kebun kelapa, meningkatkan hasil panen, serta mendorong pengolahan dalam negeri, Indonesia tidak hanya bisa memenuhi permintaan ekspor, tetapi juga menjaga keseimbangan kebutuhan domestik. 

Selain itu, regulasi ekspor berbasis kuota atau sistem insentif bagi industri lokal juga bisa menjadi strategi untuk meredam lonjakan harga.

Ekspor kelapa memang menjanjikan dari sisi ekonomi makro, tetapi perlu diimbangi dengan kebijakan yang bijak agar tak merugikan kepentingan rakyat di dalam negeri. Seperti pepatah lama, jangan sampai "ayam mati di lumbung padi" kekayaan alam yang melimpah justru menjadi beban bagi pemiliknya sendiri.

Menteri Perdagangan atau Mendag Budi Santoso mengatakan tingginya disparitas antara harga ekspor kelapa dengan harga komoditas itu di dalam negeri menjadi pemicu meningkatnya harga kelapa lokal. 

“Ini mahal kan karena diekspor,” katanya dikutip dari Tempo.co, saat ditemui di kantor Kementerian Perdagangan, Jakarta Pusat, pada Kamis, 17 April 2025.

Ia menjelaskan, tingginya harga komoditas itu di luar negeri membuat pengusaha lebih tertarik melakukan ekspor kelapa bulat ketimbang memasarkannya di dalam negeri. 

Akibatnya, stok kelapa di dalam negeri berkurang sehingga menimbulkan pasokan di pasar menipis dan membuat harga komoditas itu melonjak. (Ray)