Benteng Laut dan Hutan Harapan, Jepang Bangkit dari Tsunami dengan Rekayasa dan Alam

Benteng Laut dan Hutan Harapan, Jepang Bangkit dari Tsunami dengan Rekayasa dan Alam
Ilustrasi.

TOHOKU, JEPANG – Tragedi gempa dan tsunami yang melanda wilayah Tōhoku pada 11 Maret 2011 masih membekas dalam ingatan dunia. Bencana dahsyat itu menelan ribuan nyawa, meratakan kota-kota pesisir, dan mengubah garis pantai Jepang menjadi puing dan luka. Namun, dari reruntuhan itu, Jepang tidak hanya membangun kembali — mereka membangun masa depan.

Sebagai respons terhadap bencana tersebut, pemerintah Jepang menggagas proyek raksasa: membangun Tembok Tsunami Besar, barisan tanggul laut sepanjang hampir 400 kilometer. Beberapa bagian dari dinding beton raksasa ini menjulang setinggi 12,5 meter, berdiri kokoh di pesisir timur laut Jepang sebagai garis pertahanan pertama terhadap kemungkinan tsunami di masa depan. Seawall ini dibangun bukan hanya untuk menahan air, tapi juga untuk menenangkan kekhawatiran warga yang masih trauma oleh gelombang maut 2011.

Namun, pendekatan Jepang tidak semata mengandalkan kekuatan beton. Di banyak daerah, masyarakat dan pemerintah bergotong royong dalam proyek penghijauan berskala besar: menanam jutaan pohon lokal untuk menciptakan hutan pelindung alami. Terinspirasi oleh metode Miyawaki, hutan-hutan ini ditanam dengan rapat dan terdiri dari spesies asli yang cepat tumbuh. Hasilnya adalah dinding hijau hidup—pelindung alami dari angin, gelombang, dan erosi yang memperkuat pertahanan ekosistem pesisir.

“Hutan-hutan ini bukan hanya penghalang, tapi juga penyembuh. Mereka menyerap duka dan menghembuskan harapan,” ungkap seorang relawan dari Prefektur Miyagi.

Rikuzentakata, salah satu kota yang luluh lantak diterjang tsunami, kini dikenal sebagai simbol rekonstruksi. Di sana, beton dan pohon berdiri berdampingan—melambangkan simbiosis antara rekayasa modern dan kebijaksanaan alam.

“Kami tidak hanya membangun tembok, kami menanam harapan,” ujar seorang warga setempat, memandang barisan pohon yang kini menggantikan reruntuhan masa lalu.

Proyek ini menjadi pengingat bahwa dalam menghadapi kekuatan alam, manusia bisa memilih untuk takut, atau untuk belajar dan bertumbuh. Jepang memilih yang kedua. (Ray)