Koster Terlena Data, Abaikan Ancaman PHK di Sektor Pariwisata Bali

Koster Terlena Data, Abaikan Ancaman PHK di Sektor Pariwisata Bali

DENPASAR – Gubernur Bali I Wayan Koster kembali menjadi sorotan setelah pernyataannya yang menepis isu pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor pariwisata dianggap terlalu optimistis dan cenderung menutup mata terhadap kenyataan di lapangan. 

Dalam acara penutupan Bung Karno VII, Koster menyebut isu PHK sebagai kampanye hitam yang dilancarkan oleh pesaing destinasi wisata lain untuk menjatuhkan citra Bali. Namun, pandangan ini langsung bertolak belakang dengan peringatan keras Ketua DPR RI Puan Maharani yang menyatakan bahwa potensi PHK merupakan ancaman nyata dan perlu diwaspadai oleh pemerintah.

Pernyataan Koster yang membanggakan data kunjungan wisatawan justru menimbulkan polemik. Menurutnya, hingga akhir 2024, jumlah wisatawan mancanegara (wisman) mencapai 6,4 juta, dan wisatawan domestik menembus 9,5 juta. Bahkan, ia mengklaim bahwa pada 2025 jumlah wisman meningkat 10–12% per hari. 

Namun, ironisnya, ia mengakui sendiri bahwa jumlah wisatawan domestik justru turun hingga 10–20% per hari. Fakta ini seharusnya cukup menjadi alarm bahwa ketimpangan antara pasar internasional dan domestik bisa menciptakan tekanan serius pada sektor-sektor pariwisata lokal, khususnya yang bergantung pada wisatawan nusantara.

Penurunan wisatawan domestik berdampak langsung pada hotel-hotel kelas menengah, restoran rakyat, transportasi lokal, serta UMKM berbasis komunitas. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Bali per awal 2025 menunjukkan bahwa tingkat hunian hotel berbintang hanya berkisar 52–58%, menurun signifikan dari posisi puncaknya sebesar 70% pada akhir 2024. Sementara itu, sektor informal yang menyerap lebih dari 25% tenaga kerja pariwisata menjadi yang paling rentan terdampak.

Puan Maharani, melalui akun Instagram resminya, mengingatkan bahwa ancaman PHK bukan isapan jempol. Banyak pelaku industri pariwisata kini mulai melakukan efisiensi tenaga kerja karena okupansi yang tak stabil. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi lapangan tidak seindah narasi pemerintah daerah. Justru diperlukan langkah-langkah antisipatif, bukan sekadar menuding kritik sebagai bentuk kampanye negatif.

Koster menuding adanya “black campaign” dari pesaing Bali sebagai dalang dari isu PHK ini. Meski tuduhan ini tidak sepenuhnya tak berdasar di tengah era digital yang penuh informasi sesat, namun menyederhanakan kritik sebagai serangan semata adalah kekeliruan fatal. Apalagi jika kritik datang dari tokoh penting sekelas Ketua DPR RI yang justru mengedepankan kepentingan nasional dan kesejahteraan rakyat.

Dalam kebijakan publik, keseimbangan antara optimisme dan realisme adalah kunci. Data yang positif memang dapat menjadi alat promosi dan menarik investor, tetapi mengabaikan gejala sosial seperti ancaman PHK hanya akan menciptakan kesenjangan narasi dan realitas. Pemerintah perlu membuka mata terhadap sinyal-sinyal dari lapangan, bukan menutup telinga dengan label “kampanye negatif”.

Sebagai solusi, sinergi lintas sektor sangat diperlukan. Pemerintah pusat dan daerah harus mempercepat program re-skilling dan up-skilling pekerja pariwisata, memberikan stimulus bagi UMKM dan pelaku usaha kecil, serta mengembangkan sistem deteksi dini untuk memantau kondisi ketenagakerjaan di sektor hospitality.

Data Tak Boleh Menyembunyikan Realita

Pertumbuhan pariwisata Bali memang patut diapresiasi, tetapi tidak boleh menjadi tameng untuk menolak kritik konstruktif. Ketika angka dipakai untuk meninabobokan kebijakan, maka yang terpinggirkan adalah pekerja-pekerja pariwisata yang selama ini menjadi tulang punggung industri. 

Gubernur Koster perlu lebih mawas diri dan tidak terpukau pada angka semata, karena kesejahteraan rakyat tak bisa diukur hanya dari grafik kunjungan. (Ray)