Khawatir Perubahan Demografi, PT BIBU Yakinkan Kota Aeropolis Jadi Jawaban Tata Bali Utara
DENPASAR — Wacana pembangunan Bandara Bali Utara kembali memicu perdebatan, terutama soal kekhawatiran membludaknya tenaga kerja dari luar daerah yang dapat mengubah komposisi penduduk dan memengaruhi budaya Bali. Namun PT BIBU menegaskan, justru melalui konsep Kota Aeropolis berbasis green city, pembangunan di Bali Utara dapat diarahkan lebih tertata, berimbang, dan memberi ruang tumbuh bagi masyarakat lokal.
PT BIBU sebelumnya menyampaikan bahwa bandara ini diproyeksikan menjadi pusat ekonomi baru dengan potensi menyerap hingga 220 ribu lapangan kerja. Upaya ini disebut menjadi langkah konkret pemerataan pembangunan agar Bali tidak lagi terpusat di selatan.

Namun seorang tokoh pariwisata mengingatkan bahwa kebutuhan SDM skala besar sangat mungkin memicu gelombang tenaga kerja dari luar Bali.
“Penduduk Bali hanya sekitar 4 jutaan, dan tidak semua bekerja di sektor pariwisata. Artinya peluang tenaga kerja dari luar masuk sangat besar. Dari sinilah risiko sosial dan tekanan budaya bisa muncul,” ujarnya.
Ia juga menyoroti target wisatawan, yang bila digabung antara Bandara Ngurah Rai dan Bandara Bali Utara dapat mencapai total 70 juta pengunjung per tahun. Dampaknya, tenaga kerja pun akan makin naik.
Namun kekhawatiran itu dijawab oleh Anak Agung Ngurah Kakarsana, SE., Penglingsir Puri Ageng Blahbatuh sekaligus Direktur Utama PT BIBU Agro Maritim. Ia menegaskan bahwa pembangunan Bali Utara harus dilihat sebagai kesempatan menyeimbangkan arah pembangunan pulau secara adil.
“Kita jangan hanya jadi penonton. Bali harus menyiapkan diri dengan adil. Masyarakat yang punya pengalaman, termasuk yang sedang bekerja di luar daerah dan luar negeri, bisa kembali karena melihat peluang baru di daerahnya sendiri,” tegasnya.

Tokoh yang juga menjabat sebagai Dewan Pembina KADIN Bali ini menilai kekhawatiran soal tergerusnya budaya tidak sepenuhnya tepat. Menurutnya, wilayah Bali Utara masih “murni” sehingga penataan sejak awal justru memungkinkan kebudayaan dan kuliner lokal naik kelas dan masuk standar global.
Ia membandingkan kondisi Bali Selatan yang berkembang terlalu cepat dan sulit lagi dibenahi hingga memunculkan titik-titik kemacetan seperti di kawasan Canggu.
“Itu terjadi sejak era 90-an. Tak sampai 20 tahun, kawasan itu sudah tak bisa lagi dibendung. Berbeda dengan Buleleng yang masih bisa kita tata bertahap dan terukur,” katanya.
PT BIBU juga memastikan telah menjalin kerja sama dengan berbagai kampus di berbagai jenjang pendidikan untuk menyiapkan SDM lokal agar dapat mengisi kebutuhan di kawasan aerotropolis, bukan sekadar menjadi penonton.

Transfer pengetahuan, lanjutnya, akan menjadi langkah awal sebelum potensi lokal benar-benar bisa dimaksimalkan.
Karena itu, ia menegaskan bahwa solusi sebenarnya adalah percepatan keputusan Perpres agar proses penataan Bali Utara dapat segera berjalan.
“Kota Aeropolis yang berbasis green city adalah jawabannya. Bila dimulai sekarang, dalam 5 hingga 25 tahun ke depan Bali Utara bisa menjadi barometer pembangunan baru. Penataan transportasi, ruang kota, dan pusat ekonomi akan lebih terencana, tidak semrawut seperti yang terjadi di masa lalu,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa keselamatan penerbangan, jarak radius KKOP, hingga perencanaan runway ganda — bukan masalah, selama mengikuti prosedur dan aturan internasional sebagaimana negara-negara seperti Singapura dan Hong Kong yang tetap aman meski memiliki ruang terbatas.
Bagi PT BIBU, Bandara Bali Utara bukan sekadar bandara baru, tetapi pusat kawasan ekonomi hijau yang dapat mengurai kepadatan, menjaga budaya, dan memaksimalkan potensi wilayah utara secara berkeadilan.
Dengan fondasi ini, PT BIBU menyatakan keyakinannya bahwa pemerataan pembangunan di Bali bukan hanya mungkin, tetapi perlu segera diwujudkan. (Tim)

