TPST Mandek, Audit Wajib Dibuka! uang rakyat Rp101 miliar dipertanyakan
DENPASAR — Proyek pembangunan tiga Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) yang digadang-gadang menjadi solusi krisis sampah di TPA Suwung Kangin, Denpasar, kini menuai sorotan tajam. Setelah digembar-gemborkan sebagai terobosan strategis, TPST Kertalangu, TPST Padang Sambian, dan TPST Tahura Ngurah Rai justru tak kunjung beroperasi optimal.
Di tengah kegagalan itu, publik mempertanyakan ke mana arah pertanggungjawaban anggaran dan pengawasan pemerintah daerah.
Yang menjadi perhatian serius, fungsi pengawasan DPRD Denpasar nyaris tak terdengar.
Tidak ada penjelasan terbuka mengapa proyek tersebut gagal berjalan sesuai rencana, padahal nilai kontraknya mencapai Rp101 miliar yang bersumber dari uang rakyat. Proyek yang dikerjakan oleh PT Adhi Karya (Persero) sejak 15 Juni 2022 dengan masa kerja 165 hari kalender itu sejatinya ditargetkan mampu mengolah lebih dari 1.000 ton sampah per hari secara kumulatif.
Secara perencanaan, TPST Kertalangu dan TPST Tahura Ngurah Rai masing-masing diproyeksikan mengolah 450 ton sampah per hari, sementara TPST Padang Sambian sebesar 120 ton per hari. Selain mengurangi beban TPA Suwung, proyek ini juga dijanjikan menjadi pusat edukasi pengelolaan sampah berbasis konsep reduce, reuse, dan recycle, sekaligus menyerap tenaga kerja lokal. Namun realisasi di lapangan jauh dari harapan.
Pengamat hukum dan sosial, I Made Somya Putra, SH., MH., menilai kondisi ini tidak bisa dibiarkan tanpa audit menyeluruh. Ia menegaskan bahwa kegagalan operasional TPST harus dibuka secara terang, baik dari sisi keuangan maupun kepatuhan terhadap aturan.
“Apa yang sebenarnya diperjanjikan dalam proyek TPST ini? Jika gagal, apa konsekuensi hukumnya? Itu harus jelas. Audit keuangan dan audit kepatuhan hukum wajib dilakukan,” ujar Somya, Jumat (26/12/2025). Menurutnya, ketertutupan informasi justru membuka ruang pengaburan tanggung jawab.
Somya menekankan, publik berhak mengetahui apakah anggaran yang sudah digelontorkan harus dikembalikan, dipertanggungjawabkan secara hukum, atau justru dibiarkan menguap tanpa kejelasan.

“Kalau proyek tidak beroperasi, sementara uangnya sudah keluar, ini berbahaya. Ada potensi pengkondisian hukum dan dugaan desain proyek yang sejak awal tidak transparan,” tegasnya.
Somya juga menyoroti absennya publikasi resmi terkait kegagalan TPST, padahal dana pembangunan berasal dari pajak masyarakat. Menurutnya, kondisi ini berpotensi menyeret persoalan ke ranah pidana maupun perdata jika tidak segera diaudit dan dievaluasi secara terbuka.
“Ketika tidak ada audit dan dibiarkan begitu saja, kecurigaan publik soal adanya konspirasi akan semakin kuat. Aparat penegak hukum seharusnya tidak diam,” pungkasnya.
Kegagalan TPST bukan sekadar persoalan teknis pengelolaan sampah, tetapi telah bergeser menjadi isu serius soal transparansi, akuntabilitas, dan perlindungan uang rakyat. Tanpa audit terbuka, proyek ini berisiko menjadi preseden buruk dalam tata kelola pembangunan daerah.
Editor: Ray

