Janji Negara di Utara Bali, Antara Bandara, Keadilan Pembangunan, dan Ujian Konsistensi Pemerintah
Singaraja, Bali — Tahun 2025 menjadi persimpangan penting dalam perjalanan panjang rencana pembangunan Bandara Internasional Bali Utara. Bagi PT BIBU Panji Sakti, fase ini bukan sekadar rentetan penandatanganan nota kesepahaman, melainkan masa konsolidasi ketika visi bisnis, kebijakan negara, dukungan investor global, dan aspirasi masyarakat Bali Utara saling bertemu dalam satu momentum krusial.

Proyek bandara ini sejak awal diposisikan sebagai jawaban atas ketimpangan pembangunan Bali yang selama puluhan tahun bertumpu di wilayah selatan, sementara kawasan utara tertinggal dari sisi akses, investasi, dan peluang ekonomi. Masuknya Bandara Bali Utara ke dalam Peraturan Presiden tentang RPJMN 2025–2029 di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto mengangkat statusnya dari sekadar wacana menjadi agenda nasional, sekaligus memunculkan ekspektasi publik akan realisasi konkret, bukan janji yang kembali tertunda.
Selama bertahun-tahun, data pariwisata dan ekonomi Bali menunjukkan konsentrasi ekstrem di Bali Selatan, dengan lebih dari 70 persen aktivitas pariwisata internasional bertumpu pada Bandara I Gusti Ngurah Rai yang kini mendekati batas kapasitas. Di sisi lain, Bali Utara yang memiliki potensi besar di sektor agro-maritim, bentang alam, serta posisi strategis dalam jalur logistik nasional justru belum ditopang konektivitas udara memadai. Dalam konteks inilah Bandara Internasional Bali Utara dirancang sebagai instrumen koreksi struktural, pemecah konsentrasi pertumbuhan, sekaligus pembuka pusat-pusat ekonomi baru yang diharapkan mampu menciptakan keseimbangan sosial dan ekonomi antara utara dan selatan Bali.

Pengamat ekonomi Prof. Dr. Ichsanuddin Noorsy menempatkan proyek ini dalam kerangka kepastian kebijakan negara. Menurutnya, Perpres RPJMN bersifat mengikat dan tidak boleh diganggu oleh ego sektoral yang justru menimbulkan ketidakpastian. Ketidakjelasan arah hanya akan merusak kepercayaan investor dan memperpanjang kekecewaan masyarakat yang telah menunggu terlalu lama pemerataan pembangunan.
Di luar fungsi penumpang, Bandara Bali Utara juga dirancang sebagai hub kargo strategis bagi Indonesia Timur. Letaknya yang menghadap langsung ke jalur pelayaran dan dekat dengan kawasan produksi di Nusa Tenggara, Maluku, hingga Papua menjadikan bandara ini ideal sebagai pintu ekspor ikan segar dan beku, produk hortikultura bernilai tinggi, serta simpul distribusi cepat bagi komoditas perikanan, pertanian, dan UMKM. Konektivitas udara kargo yang efisien diyakini mampu memangkas waktu distribusi, menjaga kualitas produk, dan meningkatkan daya saing ekspor nasional, sehingga bandara ini tidak hanya berdimensi regional, tetapi berperan dalam rantai nilai ekonomi Indonesia secara luas.
Sepanjang 2025, PT BIBU Panji Sakti menandatangani sejumlah nota kesepahaman strategis yang diarahkan untuk membangun ekosistem kebandaraan secara menyeluruh. Kemitraan dengan konsorsium internasional Australia–China–Indonesia menghadirkan rancangan bandara kelas dunia, teknologi konstruksi dan energi hijau, serta skema pembiayaan jangka panjang dengan proyeksi investasi sekitar Rp50 triliun. Kolaborasi dengan BUMN strategis seperti PT Len Industri dan PT Dirgantara Indonesia memperkuat fondasi teknologi melalui sistem navigasi, elektronik bandara, serta peluang pengembangan fasilitas perawatan pesawat.
Sementara itu, kerja sama di sektor mobilitas hijau menegaskan arah pembangunan bandara sebagai green airport yang sejalan dengan agenda transisi energi nasional.

CEO PT BIBU Panji Sakti, Erwanto Sad Adiatmoko Hariwibowo, menegaskan bandara ini dirancang sebagai gerbang dunia yang modern, berkelanjutan, dan berakar pada budaya Bali, bukan proyek jangka pendek semata.
Dimensi budaya juga menjadi fondasi utama pembangunan melalui penerapan nilai Tri Hita Karana, yang menekankan harmoni antara manusia, alam, dan spiritualitas.

Komisaris PT BIBU Panji Sakti, Marsekal TNI (Purn) Ida Bagus Putu Dunia, menilai proyek ini sebagai bukti bahwa kemajuan teknologi dapat berjalan seiring dengan kearifan lokal tanpa saling meniadakan. Dukungan moral turut datang dari para penglingsir puri di berbagai wilayah Bali yang memandang bandara ini sebagai jalan menuju keadilan sosial bagi Bali Utara, sekaligus pengingat bagi negara bahwa penantian panjang masyarakat tidak boleh diabaikan.
Kini, setelah bertahun-tahun wacana dan satu Perpres telah terbit, Bandara Internasional Bali Utara menjadi ujian nyata bagi konsistensi negara. Jika 2025 adalah tahun pemantapan visi dan dukungan, maka tahun-tahun berikutnya dituntut menjadi fase eksekusi yang tegas. Bola sepenuhnya berada di tangan pemerintah pusat, dan Presiden Prabowo Subianto memiliki kesempatan historis untuk mengubah proyek ini dari sekadar teks kebijakan menjadi jejak kepemimpinan, sebuah bandara yang membuka langit baru di utara Bali sekaligus membuka harapan baru bagi pemerataan pembangunan Indonesia.
Editor - Ray

