Sulitnya Keadilan Bagi Keluarga La Fontaine, Tiga Tahun Tak Bertemu Anak Kembarnya

Sulitnya Keadilan Bagi Keluarga La Fontaine, Tiga Tahun Tak Bertemu Anak Kembarnya

DENPASAR - Paul La Fontaine, seorang warga negara Australia yang sudah tiga dekade bolak-balik ke Bali, meluapkan kekecewaannya lantaran selama tiga tahun tidak bisa bertemu dengan putri kembarnya, Isla dan Sianna. Ia menyebutkan aparat penegak hukum di Bali lamban bertindak dalam menegakkan putusan pengadilan terkait hak asuh bersama yang dimilikinya.

Paul mengungkapkan bahwa kedua putrinya hilang sejak 25 Agustus 2022. Saat itu, mantan istrinya berinisial AVP mengambil Isla dan Sianna dari sekolah tanpa sepengetahuannya, hanya beberapa pekan setelah Mahkamah Agung mengukuhkan hak asuh 50:50 atas anak kembar tersebut.

“Saya menerima pesan menakutkan dari AVP lewat WhatsApp, berbunyi ‘Tidak ada uang, lupakan untuk bertemu anak-anak Anda’. Sejak saat itu, saya tidak lagi bisa mengakses anak-anak saya,” kata Paul dalam pernyataan medianya, Senin (1/9).

Dihalangi Preman dan Mengalami Kekerasan

Paul mengaku telah berulang kali mencari anak-anaknya di Bali. Ia bahkan menemukan bahwa mereka sempat disembunyikan di sebuah kawasan perumahan di Uluwatu dan sebuah rumah di Puri Bunga, Nusa Dua. Namun, setiap kali berusaha mendekat, ia dihadang oleh orang-orang yang disebutnya sebagai preman bayaran.

Saat mencoba memberikan hadiah ulang tahun untuk putrinya yang ke-6, Paul justru diserang oleh enam orang. “Tiga pria menekan saya ke tanah, dua orang memukul saya di kepala dan wajah. Saya hanya berteriak: ‘Mereka anak-anak saya!’” ungkapnya.

Kasus penyerangan itu kini bergulir di Pengadilan Negeri Denpasar dengan nomor perkara 734/Pid.B/2025/PN Dps. Dua orang bernama Agung Danu dan Alit sedang diadili atas dugaan penganiayaan, sementara seorang lainnya, Muhummad Said, menjalani sidang di pengadilan militer.

Tuding Aparat Lalai

Paul menilai aparat kepolisian belum menggunakan Undang-Undang Perlindungan Anak No. 35 Tahun 2014 untuk menegakkan hak-hak putrinya. Menurutnya, kasus pengambilan paksa anak oleh salah satu orang tua adalah tindak pidana serius, bukan sekadar urusan keluarga.

“Polisi kerap beralasan ini masalah rumah tangga. Padahal, kami sudah bercerai empat tahun lalu. Ini jelas tindak pidana orang tua,” tegasnya.

Ia juga menuding ada “pengaruh merusak” yang membuat aparat enggan bertindak. Meski begitu, Paul tetap mengapresiasi langkah terbaru Polda Bali yang mulai memeriksa laporan anak hilang atas Isla dan Sianna.

Harapan Terakhir pada Pengadilan

Paul kini tengah memperjuangkan eksekusi putusan hak asuh 50% yang telah berkekuatan hukum tetap sejak Agustus 2022. Selain itu, ia bersama kuasa hukum barunya juga berencana mengajukan gugatan hak asuh penuh (100%) dengan alasan AVP melakukan tindakan melawan hukum dan menghalangi hubungan ayah-anak selama tiga tahun.

“Saya memohon pengadilan untuk menginstruksikan kepolisian agar menahan AVP dan memulihkan hak saya sebagai ayah. Saya juga khawatir anak-anak saya kini sudah tidak berada di Bali,” ujarnya.

Seruan untuk Perlindungan Anak

Paul berharap aparat di Bali tidak memandang kasus ini dengan kacamata diskriminasi. “Apakah karena saya orang asing maka saya tidak punya hak untuk melihat anak-anak saya? Anak-anak saya berhak tumbuh dengan cinta kedua orang tuanya,” ucapnya lirih.

Ia juga mengapresiasi langkah Senator Arya Wedakarna (AWK) yang sempat menggelar pertemuan dengan aparat dan meminta pencarian terhadap AVP serta seorang pria asing berinisial LH, yang diduga terlibat. Namun, hingga kini, keberadaan Isla dan Sianna masih misterius.

Menutup pernyataannya, Paul mengirim pesan emosional kepada mantan istrinya: “Adinda, kembalikan Isla dan Sianna kepadaku. Berhentilah menyembunyikan mereka. Biarkan mereka bahagia dengan cinta dan perlindungan dari kedua orang tuanya.” (Ray)