Minim Penyelidikan Korupsi, Publik Desak Kejati Bali Bongkar Dugaan Penyimpangan Proyek di Kawasan Tahura Ngurah Rai

Minim Penyelidikan Korupsi, Publik Desak Kejati Bali Bongkar Dugaan Penyimpangan Proyek di Kawasan Tahura Ngurah Rai
Diduga akan digunakan sebagai kantor dari investor yang disinyalir ikut mendanai proyek normalisasi tukad Ngenjung.

Bagian 2

DENPASAR – Sorotan tajam kembali mengarah ke aparat penegak hukum di Bali. Pernyataan Kejaksaan Agung tentang masih minimnya penyelidikan kasus korupsi di daerah ini kini memantik desakan publik agar Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali turun tangan menyelidiki proyek mencurigakan di kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai, Denpasar.

Pertanyaan publik kian bergulir: dari mana asal dana proyek miliaran rupiah tanpa papan nama itu, dan untuk kepentingan siapa proyek tersebut dijalankan? Fakta di lapangan menunjukkan, proyek yang disebut-sebut sebagai inisiatif Desa Adat Sidakarya dengan fasilitasi Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup (DKLH) Provinsi Bali tersebut tidak menampilkan informasi sumber dana, nilai anggaran, maupun kontraktor pelaksana.

Berita sebelumnya klik untuk link, 

Perlunya Perkerasan Jalan? NormalisasiTukad Ngenjung Juga Tak Pasang Plang Pendanaan   

Kecurigaan makin menguat setelah muncul dugaan bahwa proyek “normalisasi” Tukad Ngenjung di kawasan konservasi Tahura justru digunakan sebagai kedok membuka akses menuju kawasan industri baru di sekitar hutan mangrove. Dari hasil penelusuran sumber internal, terungkap bahwa seorang investor swasta diduga menyalurkan dana proyek itu melalui skema Corporate Social Responsibility (CSR) lingkungan. Namun jika dana CSR tersebut ternyata dimanfaatkan untuk kepentingan komersial, maka itu jelas melanggar berbagai ketentuan hukum.

Seorang pengamat hukum lingkungan dari Universitas Udayana menegaskan, “Jika proyek ini dibiayai oleh korporasi dengan tujuan membuka akses ke proyek industri, maka itu merupakan bentuk penyalahgunaan izin konservasi dan pelanggaran tata ruang.”

Kajian hukum menunjukkan, kegiatan di Tahura Ngurah Rai tersebut berpotensi melanggar enam regulasi penting, termasuk UU Kehutanan, UU Lingkungan Hidup, dan Perda RTRW Bali Nomor 16 Tahun 2009. Dugaan pelanggaran makin tebal setelah ditemukan adanya sertifikat Hak Pakai atas tanah timbul di kawasan Muntig Siokan, Sidakarya, yang masuk dalam batas kawasan konservasi.

Data geospasial publik menunjukkan, bidang tanah yang kini berstatus Hak Pakai itu menempati kawasan lindung mangrove. Analisis spasial dari Google Earth, Bhumiku ATR/BPN, dan KLHK memperlihatkan bahwa tanah timbul tersebut terbentuk alami akibat sedimentasi di pesisir selatan Denpasar. Berdasarkan peraturan yang berlaku, tanah timbul di kawasan konservasi tidak boleh disertifikasi atau dimanfaatkan secara permanen.

Jika benar tanah itu kini digunakan untuk mendirikan kantor investor yang membiayai proyek “normalisasi” di Tahura, maka terdapat skema pelanggaran hukum yang jelas:

Tanah Timbul → Kawasan Konservasi → Sertifikat Hak Pakai → Pemanfaatan untuk Kantor Investor → Perubahan Fungsi Kawasan → Dugaan Pelanggaran UU Kehutanan, UU Pesisir, dan UU Lingkungan.

Sumber hukum yang enggan disebut namanya menegaskan tiga langkah mendesak:

1. Kejati Bali harus menyelidiki proses penerbitan sertifikat Hak Pakai di kawasan Tahura.

2. Gakkum KLHK perlu menindak secara administratif dan menyegel lokasi tanah timbul yang telah dimanfaatkan.

3. BPN Kota Denpasar wajib meninjau ulang dan membatalkan sertifikat Hak Pakai yang berada di wilayah konservasi.

“Jika tetap dipaksakan, maka investor dapat dijerat dengan pasal-pasal di UUPA, UU Penataan Ruang, UU Kehutanan, dan UU Lingkungan Hidup,” tegas sumber tersebut.

Ketua Pansus TRAP DPRD Bali, I Made Suparta, juga mengonfirmasi adanya temuan mencurigakan dalam data pertanahan. “Kami menemukan satu orang bisa memiliki beberapa sertifikat di kawasan tersebut, bahkan sudah dijual berkali-kali. Kami ingin kasus ini diusut tuntas,” tegasnya.

Desakan publik kini menguat agar Kejati Bali tidak menutup mata terhadap dugaan penyimpangan di kawasan konservasi yang bernilai strategis itu. Minimnya penyelidikan korupsi yang diakui Kejagung seharusnya menjadi pemicu bagi aparat daerah untuk membuktikan keseriusan dalam menegakkan hukum, bukan justru mempertebal kesan pembiaran. (Ray)