SPA Wellness yang Berkualitas, Debra Maria : Berdasarkan UU Penting Bagi Kita Bedakan Usaha SPA Kesehatan (Wellness) ini dengan SPA “Eksekutif”
GIANYAR - Kegiatan Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah Kabupaten Gianyar bersama para pelaku usaha yang bergerak di bidang SPA dilaksanakan di Kori Maharani Villas, Jl Prof.IB Mantra, Tulikup, Gianyar, Kamis (29/08/2024).
Agenda acara diskusi ini diawali dengan Yoga dan Meditasi yang dibawakan oleh Pasraman Bali Eling Spirit ini di inisiasi oleh I Gusti Ketut Jayeng Saputra sebagai Ketua Bali SPA Bersatu dan Ketua IV ASPI (Assosiasi SPA Indonesia) DPP pusat yang kemudian direspon cepat oleh Pemkab Gianyar.
Dengan diskusi yang mengambil tema peran praktik berkelanjutan dalam SPA dan Pariwisata kesehatan di Kabupaten Gianyar ini bertujuan memberikan informasi bagi para pelaku usaha SPA agar bisa taat berusaha sesuai UU yang berlaku guna untuk menyongsong wellnes tourism.
Kegiatan ini dihadiri oleh pengurus Asosiasi Spa Terapis Indonesia (ASTI), Asosiasi SPA Pengusaha Indonesia (ASPI), Dinas Kesehatan, Dinas Tenaga Kerja, Satpol PP dari Pemda Kabupaten Gianyar beserta para pelaku usaha SPA di Gianyar.
"Pasca Pandemi ini orientasi Pariwisata Bali lebih mengarah pada quality tourism dan sustainable tourism, untuk itu hari ini kami mengundang Pemda dan pelaku usaha untuk duduk bersama, berdiskusi agar bisa bersinergi untuk peningkatan kapasitas SDM, membuat usaha mereka menjadi legal dan sesuai aturan UU yang berlaku di Gianyar," ujar Sekretaris Dinas Pariwisata Kabupaten Gianyar, Pande Putu Ayu Sri Ratnawati kepada media.
"Disini kita mengambil peran sesuai tupoksi kami masing-masing dan berintegrasi dengan dinas terkait untuk saling melengkapi sehingga usaha SPA di Kabupaten Gianyar ini bisa berjalan dengan baik dan berkelanjutan," tambahnya.
Perwakilan Dinas Kesehatan Kabupaten Gianyar, Masta Selianawaty Sembiring. SKM, menyatakan bahwa setiap terapis SPA harus mempunyai Surat Terdaftar Penyehat Tradisional (STPT) sesuai peraturan Menkes no 8 tahun 2014.
"Setiap terapis itu harus mempunyai STPT dan Sertifikat kompetensi sebagai terapis SPA.
Usaha SPA sendiri harus legal, ijinnya adalah SPA sesuai UU Cipta Kerja. Kami harus bersosialisasi lagi tentang ini," ucapnya.
Sesuai aturan Menkes, suatu usaha SPA harus memiliki persyaratan setidaknya terdapat 4 terapis yang memiliki kompetensi sertifikasi 2 Pratama 1 Madya dan 1 Penyelia yang bekerja ditempat tersebut.
"Apabila suatu usaha SPA tidak dapat memenuhi aturan dan sertifikasi yang berlaku, maka sesuai aturan Menkes, usaha SPA tersebut akan turun grade menjadi disebut Panti Sehat," jelasnya.
Kendala saat ini adalah kurangnya informasi yang didapatkan terkait ijin dan masih banyak terapis yang belum bisa ikut ujian kompetensi.
"Semoga ditahun depan Dinas Tenaga Kerja bisa menyelenggarakan ujian kompetensi ini secara gratis," harapnya.
Dewan penasehat DPD ASPI Bali, Direktur Taman Air SPA, Bali SPA Bersatu, Debra Maria Rumpesak, menyatakan kegiatan ini sangat penting untuk membangkitkan eksistensi SPA dimata masyarakat.
"Ijin dan sertifikasi kompetensi berdasarkan UU ini sangat penting bagi kita untuk membedakan usaha SPA berbasis kesehatan (Wellnes) ini dengan SPA "Eksekutif" yang berkonotasi hiburan," ujarnya.
Hal ini sejalan dengan gugatan para pelaku usaha SPA yang sedang diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk merubah definisi SPA keluar dari katagori hiburan seperti diskotik, karaoke, club malam dan lain-lain.
Berdasarkan UU mengenai kepariwisataan Bab VI Pasal 14 ayat 1 huruf m dan Permenkes no 8 tahun 2014 menyatakan bahwa SPA itu termasuk dalam usaha pariwisata dan berbasiskan kesehatan (Wellness) dengan menggunakan sarana air (Sante Par Aqua) bukan termasuk katagori hiburan.
Menurut para ahli hukum Tata Negara, tindakan sepihak mencantumkan usaha SPA dalam katagori hiburan, itu adalah tindakan diskriminasi dan termasuk pelanggaran HAM.
Untuk itu dirinya mengajak para pelaku usaha SPA untuk bergandengan tangan bersama-sama mengikuti aturan Pemerintah.
"Ayo kita care terhadap pemenuhan aturan legal ini, jika tidak mau dianggap SPA abal-abal," ucapnya.
Seketaris & ketua II bidang sertifikasi dan akreditasi DPD ASTI Bali, Humas DPD ASPI Bali, Sri Rahayu Winingsih, menyatakan bahwa saat ini stigma yang melekat di masyarakat terhadap usaha SPA masih sangat buruk.
"Saat ini masyarakat masih melihat bahwa SPA itu berkaitan dengan hiburan seperti karaoke dan club malam.
Ini membuat banyak pihak menolak untuk bekerja sebagai terapis SPA," ujarnya.
Hal ini tentu menjadi kendala tersendiri terhadap pemenuhan tenaga terapis didalam negeri berkaitan dengan upaya menggalakkan pariwisata kesehatan di Indonesia.
Adanya sertifikasi ini, diharapkan bisa memperbaiki citra negatif industri SPA di masyarakat sekaligus mendegradasi keberadaan usaha hiburan yang memakai label SPA abal-abal untuk kegiatan usahanya.
"Dengan citra SPA menjadi lebih baik, maka akan meningkatkan minat masyarakat untuk bekerja di bidang ini.
Kita adalah penyehat tradisional, bukan penghibur," pungkasnya. (Red)