Era Baru Pariwisata Indonesia di Bawah Undang-Undang Pariwisata yang Baru

Era Baru Pariwisata Indonesia di Bawah Undang-Undang Pariwisata yang Baru
Sugeng Pramono / Pelaku Pariwisata.

DENPASAR - Pariwisata Indonesia sedang memasuki sebuah babak baru. Disahkannya Undang-Undang Pariwisata yang baru menjadi tonggak penting dalam arah kebijakan pembangunan sektor ini. Jika sebelumnya pariwisata kerap dipandang sebatas industri penggerak devisa, kini perspektif yang ditawarkan undang-undang baru jauh lebih luas: pariwisata sebagai instrumen pembangunan berkelanjutan, pelestarian budaya, dan pemerataan ekonomi.

Undang-undang ini menegaskan bahwa pariwisata tidak lagi berdiri sendiri sebagai aktivitas ekonomi, tetapi harus terintegrasi dengan tata ruang wilayah, perlindungan lingkungan, hingga penguatan peran masyarakat lokal. Dengan pendekatan ini, pariwisata diharapkan tidak lagi sekadar mengejar angka kunjungan wisatawan, melainkan membangun kualitas pengalaman dan dampak positif yang berjangka panjang.

Salah satu aspek penting dalam regulasi baru ini adalah penekanan pada pariwisata berkualitas (quality tourism). Indonesia belajar dari pengalaman banyak destinasi dunia, termasuk Bali, yang menghadapi tekanan serius akibat over-tourism: kemacetan, krisis air, hingga menurunnya kualitas lingkungan. Karena itu, orientasi pembangunan pariwisata ke depan diarahkan pada wisatawan yang tinggal lebih lama, membelanjakan lebih banyak, serta menghormati nilai budaya dan sosial masyarakat setempat.

Lebih jauh, undang-undang ini membuka ruang bagi cultural-based tourism dan eco-tourism yang selama ini hanya jadi jargon. Pemerintah menegaskan perlunya perlindungan warisan budaya, kuliner tradisional, upacara adat, hingga kearifan lokal sebagai daya tarik pariwisata yang otentik. Di sisi lain, ekowisata dan wisata berbasis alam diarahkan untuk mendorong konservasi, bukan eksploitasi. Hal ini sejalan dengan tren global: wisatawan dunia kini semakin mencari pengalaman otentik yang selaras dengan alam dan budaya.

Namun, tantangan terbesar tetap ada pada implementasi. Regulasi baru hanya akan bermakna jika dijalankan dengan konsisten di lapangan. Pemerintah daerah perlu diberikan kapasitas dan insentif yang memadai untuk mengelola destinasi secara berkelanjutan. Masyarakat lokal harus diberi ruang partisipasi nyata, bukan hanya sebagai objek, tetapi sebagai subjek utama pengelolaan pariwisata.

Dunia usaha pun perlu menyesuaikan diri. Orientasi investasi pariwisata tidak bisa lagi sebatas pada pembangunan hotel dan resort besar-besaran, melainkan harus menyentuh aspek keberlanjutan: energi hijau, manajemen sampah, hingga digitalisasi layanan. Inovasi ini bukan semata kewajiban, melainkan kebutuhan agar pariwisata Indonesia mampu bersaing di pasar global.

Kita patut optimis. Dengan kekayaan alam, budaya, dan keramahtamahan masyarakat, Indonesia memiliki modal besar untuk tampil sebagai pemain utama dalam industri pariwisata dunia. Undang-Undang Pariwisata yang baru hanyalah pintu masuk. Yang menentukan keberhasilannya adalah bagaimana seluruh pemangku kepentingan—pemerintah, pelaku usaha, komunitas lokal, hingga wisatawan—saling bekerja sama dalam mewujudkan pariwisata yang inklusif, berkelanjutan, dan bermartabat.

Era baru pariwisata Indonesia sudah dimulai. Kini, yang dibutuhkan adalah komitmen kolektif untuk memastikan bahwa pariwisata benar-benar menjadi kekuatan pembangunan bangsa, bukan beban di masa depan.

(SGP . pelaku Pariwisata bali )