Hantam Wibawa Negara, Ichsanuddin Noorsy: Gubernur Bali dan Dirjen Perhubungan Udara Dapat Rusak Iklim dan Kepastian Investasi

JAKARTA – Dalam sistem pemerintahan yang sehat, hierarki kebijakan harus dijaga. Peraturan Presiden (Perpres) sebagai turunan langsung dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) adalah kompas utama arah pembangunan nasional. Setiap pejabat negara, baik di pusat maupun daerah, wajib tunduk pada keputusan yang telah ditegaskan Presiden.
Namun belakangan, publik dibuat tercengang oleh sikap dan pernyataan dua pejabat, Gubernur Bali pada 30 Juni 2025 dan Dirjen Perhubungan Udara Kemenhub pada 27 September 2025, yang justru melontarkan pandangan berseberangan dengan kebijakan resmi Presiden Prabowo Subianto terkait lokasi pembangunan Bandara Internasional Bali Utara (BIBU).
Keduanya membuka wacana pemindahan lokasi proyek dari Kubutambahan, Buleleng, ke Sumberklampok, wilayah yang berada di tengah Taman Nasional Bali Barat. Langkah ini bukan hanya menimbulkan kebingungan publik, tapi juga menebar ketidakpastian di dunia investasi.
“Ini bentuk pelecehan terhadap kebijakan presiden dan juga terhadap kepastian hukum investasi,” tegas Dr. Ichsanuddin Noorsy, pakar ekonomi politik dan analis kebijakan publik.
Fakta hukum sudah gamblang, lokasi BIBU di Kubutambahan telah dikukuhkan dalam Perpres No. 12 Tahun 2025 tentang RPJMN 2025–2029, yang ditandatangani langsung oleh Presiden Prabowo Subianto pada 10 Februari 2025.
“Kalau sudah masuk dalam Perpres, maka itu bersifat final dan mengikat. Tidak ada lagi ruang tawar-menawar atau wacana pemindahan lokasi,” ujar Noorsy tegas.
Ia menilai, pernyataan Gubernur Bali dan Dirjen Perhubungan Udara sama saja dengan bentuk perlawanan terbuka terhadap keputusan presiden.
“Ini bukan sekadar beda pandangan, tapi sudah menyentuh ranah insubordinasi birokrasi yang bisa menghancurkan kepercayaan investor,” tegasnya.
Yang ironis, Dirjen Perhubungan Udara justru pernah menolak lokasi Sumberklampok melalui surat resmi kepada Gubernur Bali tertanggal 23 Desember 2020. Alasannya jelas, kawasan tersebut tidak sesuai dengan Perda Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali 2009–2029, mengancam Taman Nasional Bali Barat (TNBB), dan sebagian lahannya akan memakai zona konservasi seluas sekitar 64 hektar.
Kini, justru lokasi yang dulu dinilai tidak layak itu dihidupkan kembali, padahal berpotensi menabrak Undang-Undang Konservasi, memicu konflik lingkungan, dan menimbulkan tumpang tindih ruang udara dengan Bandara Blimbingsari di Banyuwangi yang jaraknya hanya dipisahkan Selat Bali.
Visi Presiden: Bali Utara, Poros Pertumbuhan Baru
Noorsy mengingatkan, proyek BIBU Kubutambahan adalah wujud nyata visi besar Presiden Prabowo, menjadikan Bali sebagai pusat pertumbuhan ekonomi baru di kawasan timur Indonesia.
Dalam berbagai kesempatan, termasuk di Sanur pada November 2024, Presiden Prabowo menegaskan ambisinya menjadikan Bali sebagai “The New Singapore” atau “The New Hong Kong.”
Langkah strategis itu disambut PT BIBU Panji Sakti, selaku pemrakarsa proyek, yang sudah mengamankan komitmen investasi senilai Rp50 triliun dan meluncurkan desain bandara modern di atas laut (offshore).
Proyek ini telah dikaji lintas kementerian, mendapat lampu hijau dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Investasi (BKPM), dan Bappenas sebelum akhirnya dimasukkan ke RPJMN 2025–2029.
Desakan dari Puri Bali dan Keraton Nusantara
Sikap pejabat daerah dan pusat yang tak sejalan dengan Perpres membuat sejumlah tokoh adat di Bali geram. Paiketan Puri-Puri Se-Jebag Bali (P3SB) mendesak Presiden Prabowo segera menindak tegas dan memulai pembangunan.
“Kami sudah jenuh dengan wacana. Perpres Nomor 12 Tahun 2025 sudah jelas: lokasi bandara di pesisir Kubutambahan,” tegas Anak Agung Ngurah Ugrasena, Sekretaris P3SB sekaligus Penglingsir Puri Agung Singaraja.
Nada serupa datang dari Forum Silaturahmi Keraton Nusantara (FSKN). Melalui surat resmi bertanggal 29 September 2025, mereka meminta Presiden segera meresmikan peletakan batu pertama. Ketua Umum FSKN Brigjen Pol (Purn) Dr. A.A. Mapparessa, M.M., M.Si., Karaeng Turikale VIII menyebut proyek ini strategis untuk memacu pemerataan ekonomi dan memperkuat identitas budaya Bali dalam bingkai kejayaan peradaban bangsa.
Kemudian lanjut, menurut Ichsanuddin Noorsy, perilaku pejabat yang bila menentang keputusan Presiden bukan hanya pelanggaran administratif, tapi juga penghancuran sistem pemerintahan.
Ia menegaskan, Presiden Prabowo harus mengambil langkah tegas untuk menertibkan seluruh elemen birokrasi agar tegak lurus pada Perpres 12/2025.
“Tidak boleh ada ego sektoral yang menabrak keputusan kepala negara. Kalau dibiarkan, ini bukan hanya melecehkan Presiden, tapi juga mempermalukan Republik di mata dunia investasi,” pungkas Noorsy. (Tim)