Skandal Rp200 Miliar di Nusa Penida, Potret Kelam Dominasi Modal Asing dalam Pariwisata Bali

Skandal Rp200 Miliar di Nusa Penida, Potret Kelam Dominasi Modal Asing dalam Pariwisata Bali

KLUNGKUNG – Kasus dugaan penggelapan dana senilai Rp200 miliar di Nusa Penida bukan sekadar perselisihan antar investor. Peristiwa ini membuka ruang refleksi yang lebih dalam: betapa rapuhnya tata kelola pariwisata Bali yang sejak lama dikendalikan modal asing.

Awal Mula Sengketa

Laporan resmi masuk ke Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Polres Klungkung pada Senin, 18 Agustus 2025. Pelapor adalah Trinh Ngoc Tran (43), warga negara Amerika keturunan Vietnam yang sejak 2018 tercatat sebagai pemegang 40 persen saham sekaligus Komisaris PT Lembongan Monkey Water Sport. Perusahaan ini mengelola usaha wisata air, bungalow, yoga, hingga toko di kawasan wisata Nusa Penida.

Namun, selama tujuh tahun terakhir Trinh mengaku tidak pernah menerima pembagian keuntungan. Lebih mengejutkan lagi, pada Februari 2023 ia mendapati namanya tidak lagi tercatat sebagai komisaris setelah mengecek akta notaris. Padahal, ia tidak pernah menghadiri atau menyetujui Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) yang dijadikan dasar pemberhentiannya.

“Sebagai pemegang saham 40 persen, klien kami tidak pernah menikmati hak keuntungan. Lebih parah lagi, pemberhentiannya dilakukan secara sepihak tanpa sepengetahuan maupun persetujuan,” jelas kuasa hukumnya, I Wayan Swandi, SH.

Manipulasi Struktural dan Celah Hukum

Bagi Swandi, kasus ini tidak bisa dipandang sebatas penggelapan dana. Ia menyebut adanya manipulasi struktural yang memanfaatkan celah hukum dan lemahnya pengawasan dalam pengelolaan investasi asing.

“Ini bukan hanya masalah bisnis, tetapi soal tata kelola yang merusak iklim investasi sehat di Bali,” tegasnya.

Swandi menilai praktik semacam ini dapat merugikan tidak hanya mitra bisnis, tetapi juga masyarakat lokal yang seharusnya mendapat manfaat dari geliat pariwisata.

Dominasi Modal Asing: Kolonialisme Baru?

Fenomena yang dialami Trinh selaras dengan analisis akademik dalam Wacana: Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Interdisiplin (Vol. 12 No. 1, Juni 2025). Artikel tersebut menyoroti bagaimana pariwisata Bali berkembang dalam kerangka new imperialism: investasi asing memang mendongkrak pertumbuhan ekonomi, tetapi juga menciptakan ketergantungan struktural, eksploitasi sumber daya alam, serta marginalisasi masyarakat lokal.

Dominasi modal asing menjadikan pekerja lokal sekadar pengikut standar yang ditetapkan wisatawan maupun investor, sementara keuntungan mengalir ke luar negeri. Pola ini disebut tidak jauh berbeda dengan praktik kolonialisme ekonomi modern.

Nusa Penida Sebagai Studi Kasus

Kasus PT Lembongan Monkey Water Sport di Nusa Penida memperlihatkan bagaimana praktik itu berlangsung secara nyata. Investor asing saling berseteru, ratusan miliar rupiah raib, sementara masyarakat sekitar tetap berada di pinggiran rantai keuntungan.

Nusa Penida yang sebelumnya dikenal dengan keindahan laut dan kesakralan adat, kini berubah menjadi ajang perebutan kepentingan modal. Sejumlah akademisi menilai, jika tren ini dibiarkan, kearifan lokal hanya akan menjadi etalase budaya yang dipajang demi wisata, bukan lagi fondasi kehidupan masyarakat.

Regulasi Lemah, Pemerintah Pasif

Kuasa hukum Swandi menegaskan pentingnya peran negara dalam menutup celah penyalahgunaan. Regulasi investasi harus ditegakkan dengan tegas, disertai pengawasan yang konsisten.

“Tanpa regulasi yang jelas dan pengawasan ketat, dominasi modal asing bisa berubah menjadi bentuk kolonialisme modern yang merugikan masyarakat Bali sendiri,” ujarnya.

Hingga kini, kasus tersebut tengah diproses oleh Polres Klungkung. Namun, publik mempertanyakan sejauh mana pemerintah daerah maupun pusat mau terlibat aktif dalam melindungi kepentingan lokal.

Alarm Keras bagi Masa Depan Pariwisata Bali

Lebih dari sekadar sengketa hukum, kasus ini adalah alarm keras. Tanpa penguatan regulasi dan perlindungan terhadap masyarakat lokal, pariwisata Bali berisiko menjadi ladang subur praktik ekonomi eksploitatif berkedok investasi.

Pertanyaan krusial pun muncul: apakah Bali akan terus menjadi surga bagi investor asing namun neraka bagi masyarakatnya sendiri? Ataukah momentum ini dapat menjadi titik balik untuk menata ulang wajah pariwisata yang lebih adil, transparan, dan berakar pada kearifan lokal? (Ray)