Dua Istana di Surakarta, Warisan Perpecahan Mataram yang Hidup Hingga Kini

SURAKARTA – Kota Solo tak hanya dikenal sebagai kota budaya, tetapi juga sebagai satu-satunya kota di Indonesia yang memiliki dua istana: Keraton Surakarta Hadiningrat dan Pura Mangkunegaran. Keduanya berdiri megah, menjadi pusat adat dan tradisi Jawa. Namun, mengapa satu kota bisa memiliki dua pusat kekuasaan bangsawan sekaligus?
Untuk memahaminya, kita perlu menelusuri jejak sejarah panjang Kesultanan Mataram dan konflik internal dinastinya yang membuka jalan bagi perpecahan politik, militer, dan budaya di Tanah Jawa.
Perjanjian Giyanti, Titik Balik Perpecahan Mataram
Setelah wafatnya Amangkurat IV pada 1749, konflik internal mengguncang Mataram. Pakubuwono II yang naik tahta menghadapi pemberontakan dari kalangan kerabat kerajaan, salah satunya Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said—dua tokoh yang kemudian menjadi kunci perubahan peta kekuasaan Jawa.
VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) yang kala itu makin dominan di Jawa, memanfaatkan konflik ini dengan strategi devide et impera alias politik pecah-belah. Dukungan diberikan pada Pakubuwono III, meski harus mengorbankan keutuhan kerajaan.
Keraton Surakarta Hadiningrat
Puncaknya adalah Perjanjian Giyanti 1755 yang secara resmi memecah Kesultanan Mataram menjadi dua:
Yogyakarta, diberikan kepada Pangeran Mangkubumi (Sultan Hamengkubuwono I). Surakarta, tetap dipimpin oleh Pakubuwono III. Namun, konflik belum selesai.
Kadipaten Mangkunegaran, Solusi atas Sambernyawa
Pada 1757, lahirlah Perjanjian Salatiga yang melahirkan kekuasaan baru di Surakarta: Kadipaten Mangkunegaran, yang diberikan kepada Raden Mas Said sebagai bentuk kompromi politik. Sang Pangeran yang dikenal dengan sebutan Sambernyawa, sebelumnya merupakan musuh tangguh VOC dan Keraton Surakarta.
Menurut sejarawan Dr. Sri Margana dari UGM, pendirian kadipaten ini adalah jalan tengah agar Raden Mas Said berhenti menjadi ancaman militer:
“Ia diberi legitimasi, tapi dengan wilayah dan kekuasaan terbatas,” ujar Margana.
Sejak saat itu, Surakarta memiliki dua pusat kekuasaan:
Keraton Surakarta Hadiningrat, dipimpin raja bergelar Pakubuwono.
Pura Mangkunegaran, dipimpin adipati bergelar Mangkunegara.
Simbol Budaya yang Masih Hidup
Meski lahir dari perpecahan, kedua istana kini berperan sebagai penjaga tradisi dan budaya Jawa. Keraton Surakarta lebih bersifat simbolis sebagai pewaris trah utama Mataram. Sementara Pura Mangkunegaran memiliki struktur lebih fleksibel dan dikenal aktif dalam pelestarian seni pertunjukan, tari, hingga musik gamelan.
Pura Mangkunegaran
Berbagai tradisi seperti Kirab 1 Suro, Sekaten, dan Grebeg Maulud masih dijalankan dengan khidmat di kedua istana. Peran ini terus dilanjutkan oleh generasi muda, seperti KPH Radityo Mangkunegoro, yang mengatakan:
“Mangkunegaran harus relevan dengan masa kini—melestarikan budaya, membuka ruang dialog, dan menjadi bagian dari masyarakat modern.”
Warisan Sejarah yang Tetap Relevan
Pura Mangkunegaran
Hari ini, Surakarta bukan hanya menyimpan jejak masa lalu, tetapi juga menjadi panggung tempat budaya dan politik masa lalu menyatu dengan semangat kekinian. Dua istana itu—meski lahir dari konflik dan kompromi—menjadi lambang kekayaan sejarah yang tak ternilai dan pengingat bahwa dinamika kekuasaan selalu mewariskan cerita yang panjang.
Surakarta, kota dua istana, adalah bukti bahwa warisan sejarah tak selalu usang, ia bisa tetap hidup, berkembang, dan menjadi inspirasi zaman. (Ray)