1 Muharam dan 1 Suro, Dua Awal Tahun, Dua Makna dalam Satu Kalender

1 Muharam dan 1 Suro, Dua Awal Tahun, Dua Makna dalam Satu Kalender

DENPASAR – Setiap awal tahun baru penanggalan Hijriah, masyarakat Indonesia disuguhkan dengan dua istilah yang kerap disebut bersamaan, 1 Muharam dan 1 Suro. Keduanya jatuh pada tanggal yang sama dalam kalender lunar, namun mengandung makna dan nuansa yang berbeda, satu sarat spiritualitas universal, satu lagi kuat dengan kearifan budaya lokal.

1 Muharam, Titik Awal Perjalanan Menuju Perbaikan Diri

1 Muharam menandai awal tahun dalam sistem kalender lunar yang digunakan secara luas di berbagai belahan dunia. Bulan ini merupakan salah satu dari empat bulan suci dalam perhitungan tradisional, di mana tindakan kekerasan dan permusuhan sangat dihindari.

Momentum 1 Muharam juga mengingatkan pada peristiwa penting perpindahan menuju tempat yang lebih damai, simbol dari perubahan dan hijrah menuju kehidupan yang lebih baik. Oleh karena itu, pergantian tahun ini dimaknai sebagai saat untuk refleksi spiritual, meninggalkan keburukan, dan menata kembali arah hidup secara lebih positif.

Di berbagai daerah, masyarakat memperingati 1 Muharam dengan kegiatan yang bersifat religius dan sosial seperti doa bersama, perenungan diri, hingga pemberian santunan kepada anak yatim.

1 Suro, Sakralitas dan Keheningan dalam Budaya Jawa

Sementara itu, 1 Suro adalah penanda tahun baru dalam penanggalan Jawa, sebuah sistem yang merupakan hasil perpaduan unsur lunar dan budaya lokal. Sistem kalender ini diperkenalkan oleh Sultan Agung dari Mataram pada abad ke-17, yang menyatukan perhitungan waktu dengan kearifan Nusantara.

Dalam pandangan masyarakat Jawa, 1 Suro bukan sekadar awal tahun, tapi juga hari sakral yang diyakini memiliki kekuatan spiritual tersendiri. Banyak warga menghindari perayaan atau pesta di malam Suro. Sebaliknya, mereka menjalani tirakat, tapa bisu, meditasi, hingga ziarah ke makam leluhur. Keraton-keraton di Yogyakarta dan Surakarta bahkan menggelar kirab pusaka sebagai simbol pembersihan batin dan penyucian diri.

Menurut Dr. Retno Wulan, M.Hum., peneliti budaya Jawa dari UGM, “1 Suro adalah laku spiritual masyarakat Jawa. Bukan sekadar mistis, tapi wujud ketundukan batin terhadap waktu yang dianggap suci. Ada dimensi kosmologis yang kuat, yang memperlihatkan betapa Jawa mengatur hidup dengan harmoni."

Satu Tanggal, Dua Arah Pemaknaan

Meski berangkat dari latar belakang berbeda, 1 Muharam dan 1 Suro sama-sama mengajak pada nilai-nilai luhur: perenungan, pembersihan diri, dan semangat menuju hidup yang lebih bermakna. Yang satu tumbuh dari pedoman universal spiritual, yang lain mengakar dalam filosofi lokal.

Menurut KH. Ahmad Muzaki, M.Ag., pengasuh Pondok Pesantren Al-Miftah, Bantul, “1 Muharam bukan hanya soal pergantian kalender. Ini adalah saat yang tepat untuk berhijrah—berpindah dari kemalasan menuju semangat, dari kesalahan menuju perbaikan. Ini bisa dijadikan refleksi tahunan untuk memperbaiki diri.”

Harmoni Dua Dunia, Religius dan Kultural

Kehadiran 1 Muharam dan 1 Suro di Indonesia menunjukkan bagaimana nilai spiritual dan budaya dapat berjalan beriringan. Keduanya tidak perlu dipertentangkan, melainkan saling memperkaya dalam membentuk karakter masyarakat yang berakar pada nilai-nilai luhur namun terbuka terhadap transformasi.

Seperti diungkap Prof. Dr. Zainal Arifin, pakar antropologi budaya dari UIN Sunan Kalijaga, “Ini cerminan dari masyarakat yang bijak: tak kehilangan identitas spiritual, tapi juga tidak tercerabut dari budaya lokal. Di sinilah kekuatan bangsa ini: dalam harmoni antara langit dan bumi.”

1 Muharam dan 1 Suro bukan sekadar penanda waktu dalam dua sistem kalender. Keduanya mencerminkan warisan nilai dan spiritualitas yang berbeda namun saling melengkapi. Di tengah modernisasi dan globalisasi, perayaan ini menjadi pengingat bahwa jati diri suatu bangsa tidak hanya ditentukan oleh masa depan, tetapi juga oleh bagaimana ia menghargai warisan masa lalunya. (Ray)