Pengiriman Babi Keluar Bali, Pelaku Usaha Menjerit Harga Gila - gilaan

Pengiriman Babi Keluar Bali, Pelaku Usaha Menjerit Harga Gila - gilaan
Pengiriman babi besar - besaran diduga pemicu tingginya harga pokok daging babi.

BADUNG - Melonjaknya harga daging babi membuat para pekerja UMKM berteriak histeris. Harga yang kian mencekik ini membuat mereka tidak mampu untuk menaikan harga yang berakibat beralihnya pembeli / konsumen ketempat lain. 

Harga yang mencekik para pelaku UMKM ini hanya bisa menghela nafas lantaran kebijakan kontrol harga dari pemerintah terhadap kebutuhan daging babi tidak berjalan maksimal. 

Tentu ini menyebabkan profit dari pelaku UMKM berkurang. Seperti yang diutarakan oleh Kadek Nala pelaku UMKM kuliner babi pemilik tempat makan Nasi Lawar Abian Kapas, yang menyajikan lawar plek yang disukai banyak anak muda dan masyarakat.

"Saya tidak tega menaikan harga, kalo naik juga akan membuat pelanggan lari, " ujarnya. 

Ia juga menyesalkan kenaikan harga babi yang sangat melonjak. Harga pada hari raya Galungan dikatakannya tidak seperti harga per hari ini yang melonjak tajam.

"Kami tidak ingin harga babi terlalu murah karena kami mengerti peternak, tetapi jangan sampai harga terlalu tinggi seperti saat ini, " ungkapnya. 

Harga normal yang mereka beli biasanya berkisar antara 70 - 80 ribu / kg sedangkan harga saat ini itu 100 - 120 ribu / kg. 

Isu yang meresahkan para pelaku kuliner babi ini adalah adanya pengiriman besar - besaran babi keluar dari pulau Bali.

"Kuliner babi adalah ikon Bali, lama - lama bila mahal begini bisa saja punah nantinya, " keluhnya, Rabu (20/11/2024).

Ketut Suwitra selaku ketua asosiasi potong babi juga mengeluhkan hal yang sama, ia juga sependapat dengan pemilik kuliner babi itu. Ia juga mendengar adanya pengiriman babi hidup keluar daerah dengan harga yang berani lebih tinggi.

"Saya rasa peternak pun dari kenaikan harga ini tidak merasakan dampaknya, justru keuntungan ini dinikmati oleh calo - calo, " keluhnya. 

Ia tidak masalah sebenarnya dengan posisi harga, tetapi dengan harga yang tinggi penyerapan daging babi akan berkurang, ini lah yang menjadi kendala baru pada sisi kemampuan beli masyarakat.

"Dulu kami motong sampai 30 ekor, sedangkan sekarang hanya 5 ekor, jauh sekali. Sedangkan modal kita keluarkan lebih banyak sedangkan keuntungan belum tentu, " jelasnya.

Ditanya soal merebaknya Penyakit Mulut dan Kuku (PMK), dirinya menyebutkan tidak ada, dulu pernah ASF virus atau Demam babi Afrika (bahasa Inggris: African swine fever, disingkat ASF) yang menyebabkan banyak kematian hewan ternak

Putu Jaya seorang penjual daging babi (pasar) dan olahan daging babi mengeluhkan hal yang sama.

"Konsumen saya kewalahan"

"Contoh harga daging 100 ribu / kg, pedagang sate tidak akan dapat untung nantinya, " keluhnya.

Ia juga menceritakan bahwa selain jualan daging babi mentah, ia juga menjual aneka gorengan dan urutan babi. Seminggu lebih sudah tidak membuat itu, tentu ini akan membuat tenaga kerja kami tidak bisa bekerja dengan mahalnya harga pokok babi.

"Semua terimbas, jadi saya yang biasanya membuat 'urutan' sekarang sudah tidak bisa, tentu ini akan membuat dampak tidak bekerjanya karyawan atau orang yang diperbantukan , " pungkasnya.

Ia juga mengeluhkan hal yang sama terhadap pengiriman babi hidup keluar Bali yang tidak dikontrol. Bila ini dalam jumlah besar terkirim terus, Bali tidak akan ada babi apalagi kuliner babi. (Ray)