Museum Bung Karno di Atas Sungai, Walikota Denpasar Diduga Tutup Mata, Aktivis Desak Penegakan Hukum dan Bongkar Bangunan

Museum Bung Karno di Atas Sungai, Walikota Denpasar Diduga Tutup Mata, Aktivis Desak Penegakan Hukum dan Bongkar Bangunan
Aktivis dan pengamat lingkungan, AA Gede Aryawan.

DENPASAR - Pembangunan Gedung Museum Bung Karno yang berdiri megah di atas badan sungai di Kota Denpasar menuai sorotan tajam. Tidak hanya melanggar aturan tata ruang dan lingkungan, pembangunan ini juga memunculkan dugaan pembiaran oleh Walikota Denpasar yang hingga kini belum mengambil tindakan tegas.

Aktivis lingkungan, Anak Agung Gede Aryawan, menyampaikan keprihatinannya terhadap sikap pemerintah kota. Ia menilai, ketidaktegasan Walikota dalam menangani pelanggaran tersebut mencederai kepercayaan publik dan membuka celah bagi praktik-praktik korupsi serta perusakan lingkungan yang lebih luas.

“Ini bukan sekadar pelanggaran administratif. Ini adalah bentuk ketidakadilan struktural yang mencolok. Saat masyarakat kecil ditindak keras karena pelanggaran ringan, justru pemerintah sendiri memberi contoh buruk dengan membiarkan membangun di atas sungai,” tegas Aryawan.

Ia juga menyebut pembangunan tersebut berpotensi menyebabkan dampak serius seperti risiko banjir, kerusakan ekosistem sungai, hingga mencemari kualitas air yang berimbas langsung pada kehidupan masyarakat.

Sejumlah analisis dan AA Gede Aryawan sendiri mengungkapkan bahwa dugaan adanya praktik suap dalam perizinan seperti IMB (Izin Mendirikan Bangunan) semakin memperkuat pentingnya investigasi menyeluruh. Tak hanya Museum Bung Karno, kasus serupa juga ditemukan dalam pendirian minimarket yang disinyalir sarat dengan pemalakan.

Aryawan menuntut agar pemerintah segera mengambil langkah-langkah nyata, antara lain:

1. Investigasi dan Audit Proyek – Mengungkap potensi pelanggaran hukum dalam proses perizinan.

2. Penindakan Tegas – Pembongkaran bangunan dan pencabutan izin jika terbukti menyalahi aturan.

3. Transparansi Pemerintahan – Meningkatkan akuntabilitas dan pengawasan agar kejadian serupa tidak terulang.

4. Edukasi dan Pengawasan Lingkungan – Mengedukasi masyarakat serta memperketat kontrol pembangunan, terutama di zona rawan seperti bantaran sungai.

“Jika Walikota terus membiarkan pelanggaran ini, maka ia ikut serta merusak tatanan hukum dan lingkungan hidup. Sudah saatnya masyarakat bersuara dan mendorong penegakan hukum yang adil,” tutup Aryawan.

Kasus ini menjadi pengingat bahwa pembangunan harus dijalankan dengan menghormati hukum dan kelestarian lingkungan, bukan kepentingan politik atau ekonomi semata. (Ray)