Kisruh Hukum Hasto Sarat Kejanggalan, Mahasiswi UI Soroti 5 Titik Lemah KPK

Kisruh Hukum Hasto Sarat Kejanggalan, Mahasiswi UI Soroti 5 Titik Lemah KPK
Sintia, mahasiswi program magister hukum Universitas Indonesia.

Jakarta – Sorotan tajam kembali diarahkan pada penanganan hukum terhadap Hasto Kristiyanto, Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan. Seorang mahasiswi program magister hukum Universitas Indonesia, Sintia, menantang logika hukum yang digunakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus tersebut, dengan mengungkap lima poin kejanggalan yang dinilainya mengoyak prinsip keadilan.

“Jangan lihat ini dengan kacamata politik, tapi dengan terang hukum,” ujar Sintia dalam pernyataan berani yang disiarkan melalui TikTok pada 3 Juli 2025.

Pertama, Sintia menegaskan bahwa pokok perkara yang melibatkan nama Harun Masiku sebenarnya telah selesai melalui dua putusan inkrah di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sejak 2020, yang memvonis Saiful Bahri dan Wahyu Setiawan. Namun, tak satu pun dari kedua putusan itu menyebut keterlibatan Hasto maupun partai.

“Dana yang dipersoalkan pun jelas-jelas berasal dari Harun Masiku. Tidak ada aliran dari Hasto, apalagi PDI Perjuangan,” tegasnya.

Kedua, Sintia mempertanyakan legitimasi KPK dalam mengambil alih perkara ini. Menurutnya, Hasto bukanlah penyelenggara negara dan tidak ditemukan kerugian keuangan negara dalam kasus tersebut. Bahkan dugaan suapnya, kata dia, tidak mencapai ambang satu miliar rupiah sebagaimana diatur dalam UU KPK.

“Kalau begitu, dasar yurisdiksi KPK ini dari mana?” tukasnya penuh curiga.

Ketiga, ia menyoroti lemahnya alat bukti. Sebagian besar saksi yang dihadirkan, menurut Sintia, adalah saksi tak langsung atau de auditu—saksi yang hanya mendengar dari orang lain, bukan mengalami atau melihat langsung kejadian.

“Dalam KUHAP, kesaksian seperti itu tidak sah untuk menegakkan keyakinan hakim,” jelasnya.

Keempat, Sintia membantah bahwa ada bukti keterlibatan langsung Hasto dalam dugaan perintangan penyidikan. Ia menyebut kesaksian penyidik Rosa yang merasa dihalangi saat berada di PTIK tidak disertai bukti bahwa penghalangan itu atas perintah Hasto.

“Kalau tidak ada perintah langsung, lalu bagaimana bisa menyimpulkan dia terlibat?” tanyanya.

Kelima, proses pelimpahan berkas yang dilakukan KPK juga ia nilai janggal. Saat Hasto tengah menempuh praperadilan, KPK tiba-tiba melimpahkan perkara ke pengadilan pada 6–7 Maret, yang otomatis menggugurkan upaya hukum Hasto karena masuk ke ranah persidangan.

“Proses ini seolah dirancang untuk menggugurkan perlawanan hukum. Cepat sekali langkah KPK, seakan ada yang ingin praperadilan itu tidak sempat diuji,” sindir Sintia.

Di akhir penyampaiannya, Sintia menyimpulkan bahwa akumulasi kejanggalan tersebut memperkuat dugaan bahwa kasus ini telah keluar dari koridor hukum dan masuk ke wilayah kepentingan politik.

“Kalau penegakan hukum sudah jadi alat kuasa, maka kita sedang menyaksikan runtuhnya fondasi negara hukum,” tutupnya prihatin. (Ray) 

Sumber: TikTok @ary_prasetyo85