Perang Pandan Desa Tenganan, Merayakan Kemenangan atas Penindasan

Kekejaman Raja Maya Danawa berakhir atas Masyarakat Tenganan Berakhir berkat Pertolongan Bhatara Indra.

Perang Pandan Desa Tenganan, Merayakan Kemenangan atas Penindasan
Perang Pandan Desa Tenganan (Sumber: adira.co.id)

Oleh: Komang Fandy Arya Widyadana

Perang Pandan dilakukan secara rutin setiap tahun untuk mengenang kisah pembebasan warga Tenganan dari penindasan Raja Maya Denawa yang kejam. Dewa Indra lah yang menjadi lakon dalam kisah ini. Menurut tradisi, Dewa Indra diutus untuk menyelamatkan warga Tenganan dengan bertarung melawan Raja Maya Denawa yang pada akhirnya dimenangkan oleh Sang Dewa Perang.

Perang Pandan atau Mekare-kare ini dilakukan sebagai wujud syukur dan terima kasih warga Tenganan atas pertolongan dari Dewa Indra, Sahabat.

Tradisi Perang Pandan sendiri hanya dilaksanakan pada sasih Kelima atau bulan Kelima menurut penanggalan Hindu Bali atau sekitar bulan Juni pada penanggalan Masehi. Tradisi ini digelar di Bale Banjar atau alun-alun desa dan dihadiri oleh pria-pria yang akan bertanding dan para wanita yang turut meramaikan kegiatan ini.

Senjata yang digunakan dalam perang ini adalah pandan berduri. Daun pandan ini dipotong dengan ukuran yang sama kemudian diikat dengan menggunakan tali. Sedangkan tameng yang digunakan adalah tameng berbahan rotan.

Perang ini dilakukan satu lawan satu dengan para peserta berusaha saling menggesekkan pandan ke tubuh lawannya. Pertarungan pun dilakukan dalam tempo yang sangat singkat, kurang lebih selama dua menit. Untuk memeriahkan suasana, gamelan pun menjadi pengiring peperangan ini.

Ritual ini merupakan ritual puncak di hari pertama yang digelar di depan balai Petemu Kelod, tanpa penggunakan panggung khusus. Ritual ini merupakan puncak tradisi Mekare-kare (Perang Pandan) yang diadakan setiap tahun di Desa Bali Aga Tenganan Pegringsingan. Memperlihatkan dua peserta sedang berperang, salah satu peserta mengenai leher lawannya dengan menggunakan daun pandan berduri. Latar belakang terlihat banyak warga yang menyaksikan jalannya ritual. ada yang tampak sedang mempersiapkan diri dengan memegang daun pandan dan perisai. Di sebelah kanan atas tampak beberapa wanita yang ikut menyaksikan jalannya ritual Mekare-kare. Tarian tradisi Mekare-kare (Perang Pandan) di hari pertama diadakan di depan balai suci (balai Petemu Kelod) tanpa menggunakan panggung, hanya dipagari dengan bambu agar penonton tidak mendekat. Anggota tubuh yang menjadi incaran adalah bagian punggung, yang dipercaya sebagai bagian tubuh paling cepat merasakan sakit saat tertusuk duri-duri pandan. Pertarungan akan diakhiri sampai salah satu dari mereka menyerah.

Namun dalam budaya Desa Tenganan Pegringsingan, menyerah adalah hal yang tabu. Apalagi sampai memperlihatkan rasa sakit atau meringis kepada musuh karena bisa dianggap lemah. Karena itulah peran juri sangat penting untuk mengawasi jalannya pertarungan. Tidak ada yang namanya menang atau kalah, semua dilakukan atas dasar penghormatan kepada Dewa Indra. Tidak akan ada rasa dendam dari diri mereka, nantinya setiap lukanya akan diobati khusus dengan obat yang disakralkan. Obat tersebut sudah dipersiapkan sebulan sebelum tradisi Mekare-kare (Perang Pandan) oleh para Daha (truni/pemudi) Desa Tenganan Pegringsingan.

Pelaksanaan Upacara perang pandan akan didahului dengan mengelilingi desa sebagai wujud permintaan keselamatan kepada para Dewa. Setelah mengelilingi desa, upacara akan dilanjutkan dengan ritual minum tuak bersama. Tuak kemudian dikumpulan bersama dan dibuang disebelah panggung. Pemangku adat akan memberikan aba-aba tanda perang dimulai. Lalu dua pemuda bersiap-siap. Mereka berhadap-hadapan dengan seikat daun pandan ditangan kanan dan perisai terbuat dari anyaman rotan itu ditangan kiri mereka. Penengah layaknya seorang wasit akan berdiri diantara dua pemuda ini untuk memulai perang. Setelah penengah mengangkat tangan tinggi-tinggi, dua pemuda itu pun saling menyerang. Mereka pun saling memukuli punggung lawan menggunakan pandan dengan cara menggeretnya. Karna itulah ritual ini disebut megeret pandan. Peserta yang lain saling bersorak memberi semangat. Gamelan pun ditabuh dengan tempo yang cepat dan dua pemuda itu saling bersemangat untuk saling menggeret lawannya selama satu menit lalu bergantian dengan pasangan yang lain. Setelah perang selesai, peserta yang terluka akan di olesi ramuan tradisional yang terbuat dari kunyit. Acara selanjutnya akan dilanjutkan dengan melakukan upacara persembahyangan di Pura setempat dengan di lengkapi dengan persembahan tari Rejang.

Nah, merupakan tradisi yang unik bukan? Ya, tentu saja. Bagi anda yang masih penasaran dengan tradisi ini, anda bisa berkunjung ke Bali untuk menyaksikannya langsung. Jika anda ingin mengenali dan menambah pengetahuan anda mengenai tradisi dan budaya, anda bisa temukan itu di Bali, karena Bali memiliki berbagai macam ke indahan dan ke unikan suatu tradisi dan budaya.