Sidang Jro Kepisah, Kesaksian Pelapor Dianggap Berbelit dan Tidak Kuat
DENPASAR - Sengketa tanah waris keluarga Jro Kepisah kembali memanas di Pengadilan Negeri Denpasar. Sidang yang digelar pada Selasa (7/1/2025) menyoroti kesaksian Anak Agung Ngurah Eka Wijaya (AAEW), pelapor yang membawa tuduhan pemalsuan silsilah keluarga ke ranah pidana.
Namun, jalannya sidang justru memperlihatkan kerancuan dan kelemahan argumen pihak pelapor.
Majelis Hakim beberapa kali menegur AAEW karena kesaksiannya tidak sesuai dengan berkas perkara.
Klaim-klaim yang dilontarkan terkait kepemilikan tanah serta hubungan silsilah keluarga dianggap tidak didukung bukti yang memadai.
Bahkan, AAEW mengakui bahwa sebagian besar dokumen penting, termasuk bukti surat kepemilikan dan silsilah keluarga, tidak pernah ia lihat langsung.
"Kesaksian pelapor sangat berbelit-belit dan tidak selaras dengan fakta. Ini jelas melemahkan dasar tuduhannya," ujar I Kadek Duarsa, kuasa hukum keluarga Jro Kepisah, kepada wartawan usai sidang.
Perkara Pidana dengan Nuansa Perdata
Kadek Duarsa juga menekankan bahwa inti dari perselisihan ini adalah status kepemilikan tanah waris yang sebenarnya lebih cocok diselesaikan melalui jalur perdata. Tuduhan pemalsuan silsilah yang diangkat pelapor dinilai sebagai upaya mengalihkan perhatian dari hak adat yang seharusnya menjadi dasar penyelesaian.
"Fakta persidangan menunjukkan bahwa laporan ini lebih ke arah sengketa tanah waris, bukan pemalsuan silsilah. Jika benar ingin mengklaim tanah, jalurnya adalah perdata, bukan pidana," tegas Kadek Duarsa.
Ia juga menyoroti klaim pelapor tentang uji forensik terhadap silsilah keluarga. Menurutnya, uji tersebut hanya dilakukan pada silsilah AAEW tanpa membandingkannya dengan silsilah keluarga Jro Kepisah, sehingga keabsahannya patut dipertanyakan.
Gusti Gede Raka Ampug, Bukti yang Terabaikan
Salah satu poin krusial dalam perkara ini adalah identitas Gusti Gede Raka Ampug, leluhur yang disebut-sebut oleh kedua belah pihak.
Pelapor bersikeras bahwa Raka Ampug berasal dari Jambe Suci, tetapi bukti lontar yang dimiliki keluarga Jro Kepisah menunjukkan keberadaan Raka Ampug lain dari Banjar Kepisah.
"Ini menunjukkan bahwa ada dua tokoh berbeda dengan nama yang sama, yang membuktikan perbedaan garis keturunan. Sayangnya, pelapor tidak mau mengakui fakta ini," jelas Kadek Duarsa.
Hukum Adat Versus Pidana
Kasus ini menjadi sorotan karena mengabaikan mekanisme adat Bali yang biasanya digunakan untuk menyelesaikan persoalan silsilah dan tanah waris. Penggunaan jalur pidana justru dianggap menciptakan preseden buruk dan merusak harmoni sosial.
"Persoalan seperti ini lebih tepat diselesaikan melalui mediasi adat. Membawanya ke ranah pidana hanya menunjukkan niat untuk menekan pihak tertentu, bukan mencari keadilan," pungkas Kadek Duarsa.
Sidang ini menegaskan pentingnya mengembalikan sengketa keluarga ke jalur yang sesuai, baik adat maupun perdata. Penggunaan hukum pidana dalam kasus ini tidak hanya melemahkan posisi pelapor, tetapi juga merusak kepercayaan terhadap sistem hukum yang seharusnya melindungi keadilan dan harmoni masyarakat.
Sidang berikutnya dijadwalkan minggu depan dengan agenda lanjutan pemeriksaan saksi dari pihak keluarga Jro Kepisah. Sementara itu, publik Bali menunggu apakah jalur hukum ini akan memihak kebenaran atau justru memperburuk ketegangan sosial. (Ray)