AIS Forum Bantu Pengembangan ARHEA, Drone Canggih Buatan RI Pemantau Kondisi Air Laut

AIS Forum Bantu Pengembangan ARHEA, Drone Canggih Buatan RI Pemantau Kondisi Air Laut
Maritime Research Laboratory (MEAL) Universitas Padjajaran Bandung yang terletak di Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat, menjadi tempat pertama pengembangan ARHEA bersama dengan Institut Ilmu Kelautan (MSI) Universitas Filipina dan PT Robo Marine Indonesia pada 2016. (Foto: Dokumen Unpad)

Nusa Dua, Bali, 8 Oktober 2023 - Indonesia adalah negara maritim dengan luas perairan dua pertiga dari daratan. Mengacu kepada hasil Konvensi Hukum Laut Internasional atau United Nation Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), 10 Desember 1982 di Montego Bay, Jamaika, luas wilayah laut Indonesia mencapai 3.257.357 kilometer persegi (km2). Begitu pula dengan bentang garis pantai yang mencapai 81.290 km atau terpanjang kedua di dunia setelah negara Kanada.

Melihat kenyataan tersebut, ada banyak tantangan untuk memahami setiap detail karakteristik serta potensi yang dimiliki dari perairan Nusantara. Indonesia tentu membutuhkan data terkait karakteristik oseanografi tidak hanya untuk kepentingan nasional, namun juga agar makin berperan secara global. Pengukuran menjadi hal penting karena perairan Indonesia memiliki arus samudra (Indonesian throughflow).

Arus seperti ini menjadi salah satu sistem yang dapat mengubah karakteristik perairan global. Untuk melakukan pengukuran/pengambilan data tersebut membutuhkan instrumen yang mampu mengakomodasi seluruh wilayah perairan secara berkala (real time). Instrumen ini juga harus mampu mengukur secara presisi pada laut dangkal maupun laut dalam.

Sayangnya, belum ada instrumen yang mampu melakukan pengukuran secara berkala sekaligus bisa digunakan di seluruh jenis perairan Indonesia. Hal itulah yang mendorong Noir Primadona Purba untuk menciptakan suatu alat pemantauan dan pengukuran karakteristik perairan berbasis teknologi digital sekaligus menjawab tantangan tadi.

Dosen pada Departemen Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran Bandung tersebut, berhasil menciptakan ARHEA, akronim dari Advanced Drifter GPS Oceanography Coverage Area. Bentuknya berupa tabung aluminium berwarna kuning sepanjang 1 meter berdiameter 144 milimeter dengan bobot sekitar 15 kilogram.

Pada tabung dipasangi berbagai sensor, baterai, penyimpan data, global positioning system (GPS), serta sistem komunikasi lewat radio dan satelit. Di perairan terbuka atau tertutup, tabung itu akan mengapung karena dipasangi pelampung. Artinya, alat ini mengikuti parsel air kemana pun arus mengalir. Sekilas, cara kerjanya mirip pesawat nirawak atau drone, tapi bergerak di bawah air.

Alat ini juga dapat diaplikasikan untuk perairan tertutup seperti waduk, danau. Juga bisa dipakai untuk meneliti perairan sangat dangkal. ARHEA juga dapat menyelam hingga kedalaman maksimal 200 meter di bawah permukaan laut. Alat ini secara umum ditujukan untuk mengukur arus secara lagrangian.

Sebelum mencapai batas jarak terdalam, sensor akan memberi sinyal agar alat segera naik dengan dorongan mesin rotor yang dipasang di bagian dasar tabung. ARHEA digerakkan oleh baterai isi ulang yang dapat diisi ulang tiap tiga bulan.

"Sampai di permukaan air, alat ini akan langsung mengirimkan data. Nantinya, setelah seluruh data terkirim dalam waktu 15-25 menit, maka ARHEA akan kembali menyelam," ujar pria kelahiran Pematangsiantar, 17 Januari 1982 tersebut ketika dihubungi, Minggu (8/10/2023).

Ia mengatakan, sensor yang dipasang disesuaikan dengan kebutuhan penggunanya. Bisa untuk mengukur parameter atmosfer seperti suhu udara, kelembapan, dan tingkat polusi air. Sementara parameter di dalam air seperti untuk mengetahui kondisi salinitas atau kadar garam air laut, derajat keasamaan (pH), suhu air, oksigen terlarut (DO), dan kekeruhan.

Bahkan dapat memprediksi kawasan populasi ikan (fishing ground prediction) sekaligus memetakan areanya. Akurasinya mencapai di bawah 5 meter dari objek yang direkam di bawah permukaan air. ARHEA dapat difungsikan sebagai alat pengawasan kawasan lindung laut. Sehingga dapat dipakai oleh instansi yang berhubungan dengan kelautan dan perikanan. Selain itu, ARHEA dapat dilepaskan ke laut memakai perahu atau pesawat terbang.

Akurat, terukur dan teruji

Waktu pengukuran oleh sensor juga bisa diatur oleh pengguna, misalnya per 5 menit, 30, atau 60 menit. Data yang disimpan kemudian dikirimkan via satelit, lalu diterima oleh server di Pusat Data Kelautan Terintegrasi Unpad (Indonesia Sea-Padjadjaran Oceanographic Data Center). Hasil pemantauan oleh sensor langsung ditayangkan secara real time di laman www.isea-pdoc.org.  

Pengembangannya menurut kandidat doktor kelautan tersebut dilakukan sejak tahun 2016 oleh Laboratorium Riset kelautan (Maritime Research Laboratory/MEAL) Unpad bersama Institut Ilmu Kelautan (MSI) Universitas Filipina dan PT Robo Marine Indonesia. Prototipe pertama diberi nama GPS Drifter Combined (GERNED). Selanjutnya dinamai sebagai RHEA atau Drifter GPS Oceanography Coverage Area.

ARHEA juga sudah menjalani serangkaian uji coba di sejumlah perairan Indonesia, di antaranya Pangandaran, Jawa Barat dan Pulau Pramuka, Kabupaten Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. ARHEA juga sudah diujicoba di perairan Suva, negara Fiji. Saat dideklarasikannya Forum Negara-negara Pulau dan Kepulauan (Archipelagic and Island States/AIS) di Manado, Sulawesi Utara pada 1 November 2018, ARHEA ikut diperkenalkan.

Alat ini langsung merebut simpati delegasi negara-negara peserta. Para pemangku kepentingan yang berhubungan dengan bidang kelautan dan perikanan langsung menyatakan minatnya untuk meminang ARHEA. "Ini membanggakan bagi kami karena alat ini hampir 80 persen bahan bakunya buatan dalam negeri dan ARHEA diproduksi di Indonesia. Kecuali transmiter untuk pengiriman data ke satelit yang masih harus diimpor," terang Noir.

Karena pemanfaatannya sangat baik terutama bagi negara-negara pulau dan kepulauan, pihak AIS Forum bersama organisasi Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) memberikan dukungan penuh, terutama dalam bentuk bantuan hibah pengembangannya. Ini agar alat buatan putra-putri terbaik Indonesia tersebut dapat disematkan oleh lebih banyak lagi teknologi terbaru bidang kelautan untuk menjaga masa depan laut yang berkelanjutan. (Anton Setiawan) (TR/Elvira Inda Sari)