Gusde Galau Perkembangan Destinasi Pariwisata Sanur
Pertumbuhan pesat di sektor kepariwisataan bagai dua sisi mata uang. Tidak hanya berdampak positif, tetapi juga memberikan ekses kurang baik.
Salah satunya dari sisi pembangunan yang tergolong sangat masif. Pembangunan yang cepat, tidak jarang mengabaikan kultur dan kearifan lokal setempat.
Sebut saja Sanur yang kini mulai dirambah pusat perbelanjaan modern. Padahal berkaca pada sejarah, pondasi kepariwisataan Sanur adalah "community-based tourism".
Sayangnya, tangan jahil investor hampir merusak pengembangan pariwisata berbasis masyarakat yang selama ini menjadi kekuatan Sanur. Ketua BPC Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Denpasar, Ida Bagus Gde Sidharta Putra mengakui, muncul kegundahan atas kondisi yang ada.
*Ketua DPC PHRI Denpasar Ida Bagus Gede Sidharta Putra.
"Di Sanur ini lagi galau gitu. Galaunya kenapa? dulu saya bangga banget, teman-teman dibilang bahwa community-based tourism, ini, itu, kan begitu ya," ungkapnya di sela-sela kegiatan Ngobrol Santai di Sanur, Kamis (19/9/2024).
"Bikin Sanur Festival, Cultural, eh tiba-tiba banyak yang bilang, Gus kamu kok impoten sekali sekarang, dalam arti kok nggak bisa mengatur wilayah Sanur. Bisa kita lihat jadi apa wilayah Sanur ini sekarang," lanjutnya.
Pria yang akrab disapa Gusde Sidharta itu tidak memungkiri, beberapa hal telah mengubah wajah Sanur. Beberapa di antaranya yakni pergeseran minat pasar dan andil dari OSS (Online Single Submission).
OSS atau perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik disebut membuat daerah tidak berdaya mengontrol pembangunan. Terlebih aturan OSS menghilangkan kewajiban penyertaan dokumen penyanding dan persetujuan desa.
"Sehingga salah satu yang galau ya itu. Kita akan kehilangan identitas Sanur yang kita banggakan dengan slowbacknya, arsitektur yang beda dengan destinasi lain," sebutnya.
"Kita lihat kita nggak baik-baik saja di Bali ini sekarang. Belum kita bicara sampah, transportasi, semua-semua. Perlu sebuah pengambilan perbaikan bersama-sama secara masif harus kita lakukan," imbuhnya.
Menyikapi kondisi yang ada, Gusde berharap adanya upaya untuk kembali merujuk pada masterplan kepariwisataan. Diakui, Pemerintah Kota Denpasar telah memiliki masterplan kepariwisataan.
Masterplan tersebut mengatur soal zonasi pembangunan dan tata letak wilayah. Hal itu untuk pembentukan klaster sesuai karakteristik dan identitas di wilayah masing-masing.
"Jaman Pak Mantra ada Peraturan Walikota soal masterplan. Satu yang diatur adalah zonasi membangun, di mana boleh membangun. Ada tiga zonasi di Sanur ini," bebernya.
Menindaklanjuti itu, Gusde menyebut pihaknya akan merancang blue print pembangunan kepariwisataan Sanur. Cetak biru untuk memetakan kebutuhan Sanur dalam upaya optimalisasi dan pengentasan tantangan di sektor pelesiran.
"Kita lihat dampak pelabuhan ini macet, apakah perlu ada underpass di setiap persimpangan, atau kah pembangunan LRT perlu dipercepat. Selain memetakan, blue print itu akan merangkum daya dukung Sanur, transportasi dan pengolahan sampahnya," pungkas Gusde yang juga menjabat sebagai Ketua Yayasan Pembangunan Sanur.
Tim /09/2024