Kasus Tanah Jero Kepisah, Ragukan Pelapor Miliki Kewajiban Adat Atas Tanah Sengketa
BALI SATU BERITA | DENPASAR - Menyikapi pemberitaan yang santer di jagat maya tentang keadilan yang diperjuangkan oleh Jero Gede Kepisah, membuat banyak orang ikut mengungkapkan pendapatnya. Kali ini berasal dari Ahli Hukum Adat Bali, Dr. I Ketut Wirawan, SH, M.Hum.
Menanyakan soal pelaporan yang dilakukan oleh oknum (EW) kepada Anak Agung Ngurah Oka selaku ahli waris Jero Gede Kepisah, menurut Ketut Wirawan harus memiliki 'legal standing' yang jelas.
" Untuk mengetahui 'legal standing' agar jelas harus dilakukan gugatan perdata terlebih dahulu, "jelas Wirawan, Sabtu (31/12/2022), di Markas Komando Garda Safe Security.
Ia mengungkapkan siapa saja boleh melapor, tetapi yang menerima laporan ini harusnya lebih melihat sisi keadilan, apakah memiliki keterkaitan atau keluarga dengan Jero Gede Kepisah atau tidak. Satu 'legal standing' harus jelas, kedua punya atau tidak keterikatan keluarga, ketiga adalah kerugian dia berupa apa.
Tanah di Bali mencakup tanah desa, tanah pura atau tanah milik (peroroangan), tanah desa atau tanah pura dimilik oleh Komunal dan itu hanya penguasaan, sedangkan tanah milik perorangan bisa dari warisan, dari perkawinan (bekel), tanah hibah dan keempat adalah tanah jaul - beli.
Mengenal tanah warisan di Bali, menggunakan hukum Adat waris Bali. I Ketut Wirawan menjelaskan bahwa tanah waris Bali merupakan tanah yang berasal dari proses peralihan kewajiban dan hak sari suatu generasi ke generasi berikutnya.
" Makanya di Bali siapa yang mendapatkan wajib itu saja yang mendapatkan hak, jangan di Balik antara Hak dan Kewajiban tetapi kewajiban baru mendapatkan hak "
Sedangkan perempuan di Bali tidak mendapatkan warisan melainkan bekel namanya karena tidak menjalankan kewajiban, begitu jelas Ketut Wirawan. Sedangkan untuk kasus pelaporan EW kepada Anak Agung Ngurah Oka Ia menanyakan apakah Kewajiban EW sampai bisa mengakui haknya disana.
" Kewajiban pertama adalah terhadap orang tua, kedua kewajiban terhadap keluarga, kewajiban terhadap leluhur, lalu kewajiban terhadap pemerajan (Mrajan Gede, kawitan dan lainnya) "
Kewajiban - kewajiban seperti inilah yang harusnya dikemukakan terlebih dahulu, baru seorang EW ini bisa menuntut hak - haknya, bila benar ada. Tentu dalam hal ini penyidik harus memahami tatanan hukum waris Adat Bali, seperti kepemilikan Mrajan Gede yang diakui oleh masyarakat sekitar itu.
Ia juga menegaskan bahwa seseorang harus diberikan kepastian hukum, sesuai dengan aturan hukum itu sendiri. Tidak boleh menggantung karena baginya itu melanggar hak asasi manusia, yang menimbulkan rasa takut dan cemas seperti diceritakan langsung oleh Anak Agung Ngurah Oka pada video yang lalu.
" Dalam era keterbukaan tidak bisa lagi merekayasa, saya siap menjadi saksi ahli untuk menjelaskan hal tersebut, tentu depan penyidik atau pengadilan bukan disini, " terangnya.
Dalam mengetahui kepemilikan hak atas tanah di Bali tentu sangat mudah, pertama memahami Soroh (keturunannya).
*Soroh merupakan ikatan sosial dalam paguyuban masyarakat umat Hindu di Bali yang merujuk pada satu garis keturunan (klan).
Kedua milik desa Adat, mereka pasti tahu apakah Anak Agung Ngurah Oka warga desa Adat dimana dan Klian desa tersebut pasti mengetahui asal muasal tanah tersebut.
Dan penyakap (juru tandu) atau pengelola lahan sawah juga tentu mengetahui asal muasal dan kemana selama ini hasil panennya dibagi kepada pemilik tanah.
Dari kondisi itu semua, tentu penyidik tidak boleh mengabaikan sisi bukti-bukti lapangan yang ada dalam membenarkan posisi hak dari tanah tersebut.
" Di Bali itu jelas, apalagi sudah memiliki Mrajan Gede tentu itu pasti adalah tanah milik keluarga besarnya, tidak usah dibikin ruwetlah, " pungkasnya. (Ray)