Ahli Hukum Agraria Soroti Dampak Galian C Karangasem yang Rusak Lingkungan

Ahli Hukum Agraria Soroti Dampak Galian C Karangasem yang Rusak Lingkungan
Ket Foto : Dr. Drs. Agung Ngurah Agung SH, MH. Galian C Karangasem.

Bali Satu Berita | Denpasar - Salah satu ahli hukum agraria yang tergabung dalam Konsultan Hukum ANA & Rekan, Dr. Drs. Agung Ngurah Agung SH, MH., menyoroti adanya kerusakan lingkungan yang semakin parah akibat dampak dari aktivitas penambangan Galian C di Kabupaten Karangasem, Bali.

Menurut pria yang akrab disapa Jikgung Ngurah ini, aktivitas penambangan yang berlangsung di Galian C tersebut telah mengubah bentang alam, termasuk juga telah mengancam keberadaan kawasan Pura tempat ibadah umat Hindu di wilayah tersebut.

Selain mengancam keberadaan Pura, dampak kerusakan lingkungan Galian C tersebut juga dinilai telah menodai kesucian Pura, dimana seperti yang diketahui oleh masyarakat Bali, Pura tersebut dibangun dengan konsep Tri Hita Karana yakni hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan Manusia dengan Manusia dan hubungan manusia dengan alam, sehingga adanya aktivitas penambangan Galian C tersebut telah melunturkan konsep yang ada jauh dari ideal.

"Pura sebagai konservasi Alam yang dibangun, di bukit, gunung, danau dan pantai. Tetapi kini telah di rusak contohnya di Desa Subudi, Selat Karangasem," kata Agung Ngurah Agung yang juga Dosen di STIH Institut Bisnis Law and Management Jakarta di Jakarta bertepatan pada Hari Raya Galungan, Rabu (4/1/2023) kemarin.

Dirinya juga menjelaskan, tentang radius Pura yang dianggap sakral. Untuk pura Sad Kahyangan (enam pura besar di Bali), jarak permukiman penduduk atau bangunan lainnya dari Pura sedikitnya harus apeneleng agung (sepemandangan jauh). Itu diperkirakan sekitar 5 km. Sedangkan untuk Dang Kahyangan (Pura yang lebih kecil), apeneleng alit (sepemandangan dekat) diperkirakan sekitar 2 km.

Selain itu, adanya peristiwa Padmasana SMPN 3 Bebandem yang longsor pada Oktober lalu, juga menjadi catatan buruk akibat penambangan yang dilakukan dekat SMPN 3 Bebandem, yang kini keberlangsungannya tengah disoroti publik karena memberikan dampak kepada keberadaan sekolah.

Dalam hal ini, dirinya mendesak Pemerintah Daerah (Pemda), khususnya Pemprov Bali dan Pemkab Karangasem, untuk segera mengambil tindakan kongkrit dalam menertibkan seluruh Galian C bodong yang tidak berizin, yang kedepannya dapat menghancurkan lingkungan hidup.

"Ini kan agar sesuai dengan visi 'Nangun Sat Kerthi Loka Bali'. Visi itu sejatinya untuk menyelamatkan lingkungan, namun kenyataannya aktivitas penambangan telah merusak lingkungan hidup, yang juga mengancam keberadaan tempat sembahyang umat Hindu (Pura, red) disana," paparnya.

Dirinya menilai, bahwa keterlambatan pemerintah dan aparat dalam bertindak akan melipatgandakan kerusakan lingkungan, keanekaragaman hayati, fasilitas umum (jalan raya, sekolah, pura), penduduk maupun timbulnya korban jiwa. Dimana sebelumnya berbagai pertemuan pemimpin dunia baik Konferensi Perubahan Iklim PBB Conference of The Parties (COP) 27, KTT ASEAN, KTT G20 tahun 2022 yang sukses di gelar di Bali telah menekankan pada antisipasi perubahan iklim dan pembangunan berkelanjutan.

Agung Ngurah juga berencana akan melakukan class action (gugatan perwakilan kelompok) terhadap kerusakan lingkungan akibat dampak Galian C Karangasem. "Saya sudah berencana lakukan class action,  karena masih sibuk di Jakarta, hingga saat ini belum dilakukan."

Ancaman pidana bagi yang merusak libgkungan sudah diatur dalam Pasal 98 ayat (1) UUPPLH Th 2009: Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun.

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa yang dianggap sebagai tindak pidana lingkungan hidup adalah (1) pencemaran lingkungan hidup, (2) perusakan lingkungan hidup, dan (3) perbuatan lain yang melanggar ketentuan perundang- undangan yang berlaku.

Sedangkan penegakan hukum lingkungan sebagai suatu tindakan dan/atau proses paksaan untuk mentaati hukum yang didasarkan kepada ketentuan, peraturan perundang-undangan dan/atau persyaratan- persyaratan lingkungan. 

Demikian telah diatur dalam Undang-undang 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) telah menegaskan 3 (tiga) tindak pidana lingkungan hidup antara lain (1) Pencemaran lingkungan hidup, (2) Pengerusakan lingkungan hidup, (3) Perbuatan lain yang melanggar ketentuan per undang-undangan yang berlaku.

Dijelaskan pula, sanksi yang dapat digunakan untuk menindak lanjut kasus galian golongan C. Pelaku akan dikenakan pidana yaitu Pasal 98 Ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dengan ancaman pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 3 miliar dan paling banyak Rp.10 miliar. (BSB)