Ancam Pariwisata, Bali Diamuk Penyakit Anjing Gila

Ancam Pariwisata, Bali Diamuk Penyakit Anjing Gila
dr I Wayan Agus Gede Manik Saputra M. kled.Klin. Sp.Mk.

BALI SATU BERITA | Denpasar -Banyaknya pengaduan, berita dan postingan netizen (warganet) terhadap merebaknya kembali penyakit anjing gila (rabies) yang terdeteksi melalui data Dinas Peternakan Kabupaten Buleleng (sampai 4 Mei 2022) tercatat 38 kasus positif, jumlah ini meningkat dari tahun 2021 dengan akumulasi 39 kasus serta tahun 2020 dengan angka 12 kasus.

Menghubungi dr I Wayan Agus Gede Manik Saputra, M.Ked.Klin, Sp.MK., yang merupakan anggota Perhimpunan Dokter Spesialis Mikrobiologi Klinik (PAMKI) Cabang Bali dalam pesan elektroniknya, ia mengingatkan kembali bahaya penyakit anjing gila (Rabies).

Penyakit ini merupakan penyakit zoonosis karena ditularkan oleh hewan penular rabies (HPR). Sebagian besar HPR yang membawa virus rabies seperti Anjing, Kucing dan Kera. Diketahui bahwa anjing adalah HPR terpenting di benua Asia, Amerika Latin dan Afrika.  

Dalam paparannya Virus rabies termasuk dalam ordo Mononegavirales, family Rhabdoviridae dan genus Lyssavirus.  Karakteristik virus rabies sangat khas dengan bentuk yang menyerupai peluru (bullet-shaped), asam nukleat (RNA) untai tunggal, memiliki polaritas negatif dan tidak bersegmen. Jadi struktur virus rabies dikelilingi oleh tonjolan glikoprotein yang berperan dalam menempelnya virus dengan sel inang.
  
Selubung glikoprotein yang terdiri dari komponen lemak, menyebabkan virus rabies bersifat labil terhadap lingkungan seperti panas dan zat kimia tertentu. 

Penularan virus rabies sebagian besar terjadi melalui kontak langsung dengan air liur HPR. Mekanisme masuknya virus ke dalam tubuh manusia umumnya melalui luka gigitan, namun virus juga dapat masuk melalui mukosa, luka gores atau lecet yang terkontaminasi air liur HPR yang mengandung virus rabies.

Penularan dengan cara lain seperti transplantasi jaringan atau aerosol saat melakukan manipulasi virus di laboratorium.  

Virus rabies menyebar dalam tubuh manusia melalui sistem saraf. Setelah 2 minggu virus akan tetap tinggal pada tempat masuk dan di dekatnya, kemudian bergerak mencapai ujung-ujung serabut saraf posterior. Virus akan bergerak menuju sistem saraf pusat secara retrograde dan sesampainya disana, virus akan memperbanyak diri dan menyebar ke sebagian sel-sel saraf seperti sistem limbik, hipotalamus dan batang otak.  

Setelah memperbanyak diri di sistem saraf pusat, virus akan menuju perifer yaitu saraf eferen dan saraf volunter maupun saraf otonom. Dengan demikian, virus akan menyerang organ dan jaringan dalam tubuh seperti kelenjar ludah, retina, kornea, mukosa hidung, dan parenkim ginjal. Masa inkubasi rata-rata virus rabies adalah 3-8 minggu, namun memiliki rentang waktu yang cukup Panjang antara 2 minggu sampai 2 tahun. Lamanya masa inkubasi tergantung dari banyaknya virus saat fase penularan terjadi, lokasi gigitan, keparahan luka, usia dan status imun penderita. 

Gejala klinis rabies meliputi 4 stadium yaitu stadium prodromal, stadium sensoris, stadium eksitasi dan stadium paralisis. Pada fase awal (prodromal) gejala menyerupai penyakit flu seperti demam, lemas, mual dan rasa nyeri di tenggorokan. Ketika sudah mengalami kesemutan di daerah luka bekas gigitan disertai nyeri dan panas disusul gejala cemas dan reaksi berlebihan terhadap rangsang sensorik, penderita rabies sudah masuk dalam stadium sensoris. 

Pada stadium eksitasi akan terjadi kekakuan otot disertai gejala seperti hyperhidrosis, hipersalivasi dan gejala yang paling khas yaitu hidrofobia (takut pada cahaya). Pada fase ini, dapat terjadi apnoe, sianosis, konvulsi dan takikardi yang akan berujung pada kematian. 

Hingga saat ini tidak ada terapi spesifik untuk kasus rabies yang sudah bergejala. Jika seseorang datang sudah dengan gejala, menandakan stadium akhir dari penyakit rabies. Dengan demikian, tatalaksana kasus rabies difokuskan pada tindakan pencegahan. Pemberian vaksin anti rabies (VAR) dan serum anti rabies (SAR) merupakan modalitas utama dalam hal pencegahan seseorang dengan gigitan hewan penular rabies (GHPR) yang berisiko tinggi.  

Vaksin anti rabies dapat diberikan sebagai upaya pencegahan (pre-exposure) dan paska pajanan GHPR. Sedangkan, SAR hanya diberikan pada seseorang yang memiliki risiko tinggi terkena rabies. Upaya pencegahan yang tidak kalah pentingnya pada seseorang yang digigit HPR adalah melakukan pencucian luka dengan sabun atau detergen dibawah air mengalir selama 10-15 menit.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Provinsi Bali, kasus rabies pada manusia (Lyssa) cenderung meningkat sejak beberapa bulan terakhir. Sebanyak 8 kasus kematian akibat rabies di Bali yang terjadi dalam periode waktu Januari - pertengahan Mei 2022. 

"Semua kasus tersebut memiliki riwayat gigitan anjing. Korelasi positif antara tingginya kasus kematian akibat rabies dan data GHPR di Bali pada periode tersebut belum dapat dibuktikan, dikarenakan data gigitan belum dilakukan update secara berkala, "ungkap dr I Wayan Agus Gede Manik Saputra. (Ray)