Fakta Persidangan Kasus LPD Belumbang Sebutkan IKBA dan NW Telah Lunasi Kerugian
Bali Satu Berita | Denpasar - Sidang kasus dugaan korupsi dana Lembaga Perkreditan Desa Adat Belumbang (LPD) Belumbang, Kerambitan, Tabanan dengan terdakwa IKBA (mantan ketua) dan NW (mantan bendahara) memasuki agenda pemeriksaan saksi-saksi di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar, Kamis (19/02/2022).
Dalam sidang yang dipimpin majelis hakim Putu Ayu Sudariasih SH, MH (Ketua), Gede Putra Astawa SH, MH (anggota) dan Nelson SH (anggota) ini, Jaksa Penuntut Umum menghadirkan tiga saksi, salah satunya yakni, I Nyoman Putra Adnyana selaku mantan Bendesa Belumbang sekaligus Ketua Badan Pengawas LPD Belumbang.
Dari keterangan saksi fakta di persidangan terungkap bahwa kedua terdakwa telah membayar lunas kerugian LPD Belumbang yang harus mereka tanggung masing-masing sesuai perhitungan Tim Pencari Fakta (TPF) yang dibentuk berdasarkan hasil rapat Desa Adat Belumbang terkait penyelesaian masalah LPD tersebut.
Dalam fakta persidangan juga terungkap bahwa terdakwa NW tidak ikut memakai dana LPD untuk kepentingan pribadinya. Namun berdasarkan hasil rapat desa, NW selaku Bendahara wajib ikut menanggung kerugian LPD bersama Ketua (terdakwa IKBA) dan Sekretaris (Wayan Sunarta, telah divonis bersalah sebelumnya).
"Pengembalian dana dari Ketua LPD (terdakwa IKBA, red) Rp 410 juta, dari Bendahara (terdakwa NW, red) Rp 210 juta sudah lunas semua Ketua dan Bendahara nya. Yang sama sekali tidak ada pengembalian dari sekretaris Pak Wayan Sunarta," ujar I Nyoman Putra Adnyana.
Adapun hasil perhitungan TPF menemukan penyimpangan dana LPD sebesar kurang lebih Rp 1.3 miliar. Dari jumlah tersebut, Rp 64 juta merupakan kredit fiktif yang dibuat IKBA dan Rp 600 juta merupakan dana nasabah yang diselewengkan atau tidak disetor ke LPD oleh Wayan Sunarta.
Sisanya, kerugian LPD kurang lebih Rp 700 juta, berdasarkan keputusan rapat desa dibebankan kepada pengurus yakni Ketua, Sekretaris, dan Bendahara untuk ditanggung secara proporsional. Masing-masing, 40% ditanggung Ketua, 30% Sekretaris dan 30% Bendahara.
Terdakwa IKBA selaku Ketua dan NW selaku Bendahara telah membayar lunas dana menjadi tanggungannya masing-masing sesuai perhitungan TPF dan hasil keputusan rapat, jika mereka melunasi maka tidak akan ada tuntutan hukum yang dilakukan.
Selaku Ketua Badan Pengawas LPD Belumbang, I Nyoman Putra Adnyana juga sempat dicecar pertanyaan seperti apa pengawasan yang dilakukan selama ini, sehingga masalah penyimpangan ini bisa terjadi.
Atas pertanyaan tersebut, Nyoman Putra Andnya mengaku pengawasan selama ini dilakukan hanya dengan memeriksa dokumen laporan LPD namun diakui pihaknya tidak pernah melakukan pemeriksaan lapangan untuk mencocokan laporan dengan kondisi rill di masyarakat atau nasabah.
Selain itu, hal menarik terungkap dari pengakuan Nyoman Putra Adnyana terkait modal awal LPD Belumbang. Nyoman Putra Adnyana mengatakan bahwa Desa Adat Belumbang mendapat donasi sebesar Rp 2 juta dari Pemerintah Daerah yang mana dana tersebut kemudian dijadikan modal awal pendirian LPD Belumbang pada tahun 1990.
"Dulu dikasi donasi dari Pemerintah Rp 2 juta. Itu kemudian dikembangkan di LPD. Selain itu ada juga donasi dari masyarakat," katanya.
Dikonfirmasi usai sidang, Penasihat Hukum (PH) dari terdakwa NW, Pande Komang Sutrisna atau yang akrab disapa Jero Sutrisna, mengatakan atas fakta persidangan tersebut semakin terang terungkap bahwa kliennya tidak ikut menikmati atau memakai dana LPD untuk kepentingan pribadinya.
"Dari fakta persidangan tadi semakin terang terungkap klien saya (mantan bendahara, red) tidak ada ikut memakai dana LPD untuk kepentingan pribadinya. Dana Rp 210 juta yang dibayarkan klien saya bukanlah dana LPD yang ia pakai, tapi itu adalah kerugian LPD yang harus ikut ia tanggung secara renteng bersama Ketua dan Sekretaris," ungkapnya.
"Di desa juga sudah dianggap selesai dengan adanya pembayaran ganti rugi itu. Dan tidak ada sanksi dari desa karena NW telah memenuhi kewajibannya," tandasnya.
Sementara Bambang Purwanto selaku kuasa hukum IKBA usai sidang mengatakan bahwa, dalam perkara ini sebenarnya perlu dipastikan dulu apakah LPD ini adalah lembaga keuangan yang berasal dari pemerintah baik yuridis maupun bentuknya.
"Karena LPD ini menurut saya adalah lembaga keuangan Desa Adat, ini penting untuk memastikan secara hukum apakah uang yang masuk ke LPD adalah dianggap sebagai penerimaan negara," ungkapnya.
Hal ini diperkuat dengan keterangan saksi Nyoman Putra Adnyana yang di muka sidang mengatakan bahwa uang Rp 2 juta yang berasal dari pemerintah bukanlah uang yang dianggap sebagai penyertaan modal melainkan hanyalah sumbangan.
"Dalam sidang terungkap pula bahwa ada keuangan LPD yang disetor ke Pemda untuk kontribusi pembinaan yang dilakukan LP LPD. Artinya jika ada masalah di LPD harusnya LP LPD ikut bertanggung jawab karena LP LPD digaji berdasarkan uang stroran tersebut," ungkap Bambang.
Selain itu, Bambang juga menilai bahwa setiap masalah yang timbul di LPD patut diduga karena pembinaan pengawas LP LPD kepada LPD yang tidak maksimal. Sementara soal pengembalian uang dari kliennya atas kerugian yang dialami LPD, Bambang mengatakan itu wajib dijadikan alasan pemaaf dalam putusan hakim nanti. (BSB)