PBSI Bali, Jangan Tutup Jalan Atlet Muda Menuju PON

Oleh: Ray - Humas KONI Bali
DENPASAR - Salah satu kejanggalan paling serius dalam kebijakan pembinaan olahraga bulutangkis di Bali hari ini datang dari aturan internal PBSI Bali yang membatasi usia atlet maksimal 18 tahun untuk bisa tampil di ajang Pekan Olahraga Provinsi (Porprov). Aturan ini memunculkan pertanyaan besar: untuk siapa Porprov digelar, dan bagaimana kita hendak membina atlet untuk PON jika di level provinsi saja mereka sudah dibatasi secara tidak logis?
Mari kita lihat kenyataan di lapangan. Seorang atlet bulutangkis asal Badung, yang saat ini berusia 19 tahun, tidak bisa turun di Porprov karena melampaui batas usia yang ditentukan PBSI Bali. Namun, ironisnya, ketika Pra-PON 2026 digelar dua tahun lagi, ia akan berusia 20 tahun, dan saat PON 2028 berlangsung, usianya masih 22 tahun — masih sangat layak karena sesuai dengan batas maksimal usia PON, yakni 23 tahun, sebagaimana tercantum dalam Buku THB (Technical Handbook ).
Lalu, mengapa jalur pembinaan menuju PON justru diputus di rumah sendiri?
Porprov seharusnya menjadi salah satu ajang penting dalam sistem seleksi dan uji kemampuan bagi atlet daerah, bukan justru menjadi penghalang. Atlet tidak bisa tiba-tiba muncul di pentas Pra-PON tanpa pengalaman kompetitif di tingkat provinsi. Tanpa jam terbang dari Porprov dan kejuaraan setara, proses seleksi akan timpang dan tidak berbasis prestasi nyata.
PBSI Bali harus menyadari bahwa usia 19 hingga 22 tahun merupakan masa emas atlet dalam mengejar prestasi dan kompetisi tingkat tinggi. Ini adalah fase transisi dari junior ke senior yang sangat menentukan. Menutup akses mereka di Porprov bukan hanya merugikan individu atlet, tapi juga melemahkan kekuatan kontingen Bali dalam jangka menengah.
Badung sebagai salah satu basis atlet unggulan di Bali tentu merasakan dampak paling langsung. Banyak atlet yang sejatinya menjadi tumpuan untuk ajang nasional malah terhenti karena tak dapat membela daerahnya sendiri di Porprov. Bagaimana kita bisa berharap mereka memiliki kesiapan dan daya saing nasional jika diberangus kesempatan tampil di rumahnya?
Lebih dari sekadar batas usia, masalah ini adalah soal keberpihakan kebijakan. Jika Porprov dimaksudkan untuk menjaring dan membina atlet terbaik Bali menuju pentas nasional seperti PON, maka kebijakan usia harus selaras dengan jenjang dan target jangka panjang. Tidak masuk akal jika atlet yang masih memenuhi syarat usia PON justru disingkirkan di level provinsi.
Sudah saatnya PBSI Bali mengevaluasi aturan ini secara terbuka dan mendengarkan aspirasi dari para pembina, pelatih, orang tua, dan atlet sendiri. Regenerasi memang penting, tetapi bukan berarti pembinaan atlet usia potensial harus dikorbankan. Alih-alih membuat batas usia tunggal, PBSI Bali bisa menerapkan sistem bertingkat—misalnya membuka dua kelompok usia: U-18 dan U-21—sehingga proses seleksi berjalan inklusif dan berkelanjutan.
Ke depan, jika kita ingin melihat Bali berbicara banyak di pentas PON, maka setiap kebijakan di level provinsi harus menjadi jalan pembuka, bukan penutup. Atlet bukan sekadar angka usia—mereka adalah harapan, kerja keras, dan mimpi yang tumbuh dari proses panjang pembinaan.
PBSI Bali, jangan tutup jalan anak-anak muda yang siap mengharumkan nama daerah dan provinsi. Biarkan mereka bertarung, belajar, dan tumbuh dalam ruang yang adil dan terbuka.( Ray )