Baru Bangkit dari Covid dibuat Syok, Pajak 40% Pukul Industri Spa

Baru Bangkit dari Covid dibuat Syok, Pajak 40% Pukul Industri Spa
CEO Taman Air Spa Debra Maria

BADUNG - Kericuhan mulai terjadi di wilayah akar rumput terutama pemilik SPA di Bali akibat Undang-undang nomor 1 tahun 2022 yang menetapkan pajak hiburan berkisar antara 40 sampai 75 persen, dengan kategorisasi Spa dan Karaoke sebagai tempat hiburan secara otomatis menempatkan mereka di bawah rencana kenaikan pajak. 

Padahal ada PP 103 Tahun 2014 tentang pelayanan Tradisional Indonesia dan UU No. 36 Tahun 2009: Peraturan ini menetapkan kerangka untuk praktik pengobatan tradisional, termasuk spa, yang diakui sebagai bagian dari sistem kesehatan nasional. 

Kemudian UU No. 17 Tahun 2023 Pasal 22 tentang Yankestrad: Pasal ini mencakup spa sebagai salah satu dari 25 upaya kesehatan berbasis pengobatan kearifan lokal, mengakui pentingnya spa dalam konteks kesehatan tradisional. 

Menemui Presdir PT Bali Wellness Spa atau CEO Taman Air Spa, Debra Maria menyebutkan bahwa dirinya mengaku syok dengan ramainya pemberitaan mengenai Spa yang masuk kategori hiburan. Ia mengaku telah menggeluti bisnis ini selama 30 tahun yang dimana dalam pengalamannya bersama Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pariwisata (2000) tidak pernah menetapkan Spa itu ditempat hiburan dan secara KBLI pun demikian.  " Yang membuat 'nightmare' ini adalah adanya kata Spa di UU Nomor 1 (2022) yang dimasukan dalam kategori hiburan, " ungkapnya senin (08/01/2024), di kantornya. 

Apalagi Bali merupakan mercusuar bagi kegiatan Spa di Indonesia yang menjadi tujuan dunia. Bahkan Bali juga mendapatkan banyak sekali penghargaan bergengsi bertaraf dunia pada kategori Spa. " Therapis Spa itu memiliki sertifikasi juga, itu yang membuat kita benar - benar kecewa, tentu pemangku kebijakan sebaiknya mengkaji lebih dalam lagi sebelum mengambil sebuah keputusan, " tambahnya. 

Kekecewaan ini tentu tidak berdasarkan pernyataan sepihak saja, karena perjuangan saat pandemi dengan men 'switch' pasar mancanegara dengan pasar domestik agar tetap 'survive' pun dilakukannya. Kini pasar mulai kembali pulih pasca pandemi (60%) tetapi mimpi buruk ini sepertinya akan terjadi lagi bila tetap diterapkannya peraturan pajak 40% bagi pengusaha Spa. 

" Bila kami menerapkan kenaikan berdasarkan pajak itu, tentu dipastikan para pelanggan akan tidak mau kesini "  Tentu imbas ini tidak main-main bila dikaitkan dengan tenaga kerja dan penghidupan bagi masyarakat Bali terutama therapis.

Bahkan saat ini dikatakannya bahwa therapis di Bali juga mengalami krisis, banyak dari mereka ditarik kerja ke luar negeri karena keahliannya tersebut, apalagi banyak dari mereka yang tidak tertarik lagi mendapatkan penghasilan setara UMR.  " Hati -hati, pemerintah dapat menyebabkan ter PHKnya banyak therapis bila Spa tutup, jangan-jangan nanti Balinese massage atau boreh mereka nemunya di Turki bukan di Bali, " tuturnya.  

Kadispar Tjok Bagus Pemayun

Hal senada juga dilontarkan oleh Kepala Dinas Pariwisata Bali Tjok Pemayun, Balinese Spa adalah kearifan lokal yang sarat akan nilai budaya. Dia takut nilai atau kearifan lokal yang ada di dalamnya justru pudar karena salah kaprah dalam menentukan kategori pungutan pajak.  Ia juga berharap bahwa Spa tidak dikategorikan sebagai hiburan.

Kondisi ini masih menunggu arahan dari Pj Gubernur Bali, Sang Made Mahendra Jaya, sebelum disampaikan kepada Menteri Pariwisata, Sandiaga Uno. (Ich)