Wabah ASF di Indonesia, Bali Jadi Sumber Utama, Harga Babi Meroket
DENPASAR - Wabah demam babi Afrika (ASF) melanda Indonesia, menjangkiti 32 dari 34 provinsi sejak awal 2024 hingga Agustus. Penyakit ini, yang memiliki tingkat kematian 100 persen pada babi domestik dan babi hutan, telah menghancurkan industri peternakan babi di berbagai daerah, termasuk Sumatera, Bangka Belitung, Jawa, Kalimantan, dan Papua.
Meski Bali juga tercatat sebagai daerah terdampak, pulau ini justru menjadi salah satu sumber utama pasokan babi di tengah keterbatasan stok nasional. Kondisi ini membuat harga babi di Bali melonjak tajam akibat kelangkaan.
Bali Jadi Tumpuan di Tengah Krisis
Wabah ASF menyebabkan banyak peternak kecil di seluruh Indonesia gulung tikar karena minimnya upaya penanganan, termasuk ketiadaan vaksin dan obat yang efektif.
Sementara itu, Bali, yang memiliki tradisi kuat dalam beternak babi untuk kebutuhan upacara adat dan konsumsi lokal, masih bertahan sebagai daerah yang mampu menyuplai babi ke provinsi lain.
Namun, daya tahan Bali menghadapi wabah ini memiliki konsekuensi besar. Tingginya permintaan dari luar daerah membuat pasokan babi di Bali menipis, sehingga harga babi di tingkat lokal menjadi mahal.
Beberapa pedagang di pasar tradisional melaporkan kenaikan harga daging babi hingga dua kali lipat dibandingkan harga normal.
Pakar: ASF Tidak Menular ke Manusia, tapi Tetap Hati-Hati
Pakar epidemiologi dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman, menjelaskan bahwa ASF tidak menular ke manusia dan tidak memengaruhi keamanan daging babi yang dikonsumsi.
Namun, ia tetap mengimbau masyarakat untuk lebih berhati-hati dalam memilih sumber daging babi, terutama di tengah kondisi wabah.
“Jika tetap ingin mengonsumsi daging babi, pastikan daging tersebut berasal dari sumber terpercaya, bebas penyakit, dan dimasak hingga matang sempurna,” ujar Dicky dikutip dari detikcom pada Selasa (17/12/2024).
Ia juga mengingatkan pentingnya menjaga kebersihan di area peternakan dan menghindari praktik memberi babi makanan sisa yang tidak dimasak sempurna.
Peningkatan Pengawasan dan Peran Bali
Otoritas karantina telah memperketat pengawasan distribusi hewan ternak antarwilayah untuk mencegah penyebaran lebih lanjut.
Bali, dengan kapasitasnya yang masih tersisa, menjadi salah satu harapan bagi stabilitas pasokan babi nasional, meskipun keterbatasan ini memicu dilema harga di tingkat lokal.
Di sisi lain, masyarakat Bali berharap adanya intervensi pemerintah untuk mengendalikan lonjakan harga sekaligus melindungi kelangsungan peternakan tradisional yang menjadi salah satu fondasi ekonomi lokal.
Sementara itu, krisis ini menjadi pengingat bagi semua pihak akan pentingnya pengendalian wabah dan keberlanjutan sektor peternakan babi di Indonesia.
Budaya Ternak Babi
Pada sisi budaya atau kebiasaan pola pemeliharaan masyarakat Bali terhadap ternak babi, mereka memelihara seperti tabungan tidak pada level industrial yang jumlahnya banyak dalam satu kandang.
Mungkin ada 2 atau 3 ekor dalam setiap keluarga peternak di Bali dan mereka menjualnya pun biasanya tidak menyisakan satu babi pun di kandang. Ini cara terputus juga dalam upaya pencegahan ASF yang cukup efektif dalam upaya menjaga pasokan daging babi untuk Bali.
Dikatakan juga bahwa ASF dapat menular melalui kandang babi atau alat untuk mengangkut babi. Bali punya kebiasaan khusus, alat tersebut terbuat dari bambu yang sebaiknya sekali pakai dan dimusnahkan.
Kemungkinan cara seperti ini efektif dalam menjaga kondisi ternak babi Bali dari serangan ASF yang patut ditiru diseluruh wilayah Indonesia. (Ray)