Mahalnya Harga Daging Babi di Bali, Pemerintah Dinilai Belum Berikan Solusi
DENPASAR - Harga daging babi di Bali mengalami lonjakan yang signifikan, memicu keluhan dari berbagai pihak, terutama para pelaku usaha terkait.
Ketua Gabungan Usaha Peternak Babi Indonesia (GUPBI) Bali, I Ketut Hari Suyasa, menyoroti mahalnya harga daging babi yang kini mencapai Rp60.000 per kilogram (harga pokok produksi).
Ia mengungkapkan kekhawatirannya bahwa harga bisa terus naik hingga Rp70.000 per kilogram, terutama menjelang Natal, Tahun Baru, Imlek, dan Galungan.
"Inilah yang perlu kita pikirkan dan diskusikan bersama," ujarnya. Kelangkaan babi di Bali menjadi penyebab utama melonjaknya harga.
Hari Suyasa menjelaskan, tingginya permintaan dari luar Bali, terutama dari Sulawesi yang terdampak wabah African Swine Fever (ASF), membuat serapan babi dari Bali meningkat pesat.
Situasi ini memicu kepanikan di kalangan pelaku usaha, karena produksi lokal tidak mampu mengimbangi kebutuhan.
Asosiasi berharap pemerintah mengambil langkah konkret untuk menjaga stabilitas jumlah ternak babi di Bali.
"Setahun lalu harga daging babi berada di titik terendah, sekitar Rp40.000 hingga Rp45.000 per kilogram pada harga pokok produksinya. Dengan harga jagung Rp10.000 per kilogram"
"Saat itu, kami sudah mengusulkan kepada pemerintah untuk melakukan standarisasi harga agar tidak terjadi fluktuasi yang merugikan semua pihak. Saat ini terbukti terjadi serapan begitu besar tetapi diluar wilayah kita (Bali), " jelas Hari, Selasa (03/12/2024).
Menurutnya, pengiriman babi secara besar-besaran ke luar wilayah Bali menjadi salah satu faktor utama yang memicu lonjakan harga. Ia menilai penting adanya pengawasan ketat terhadap distribusi babi, sehingga kebutuhan lokal tetap dapat terpenuhi.
Namun, hingga kini, belum ada solusi nyata dari pemerintah untuk mengatasi permasalahan ini.
Hari Suyasa juga menyampaikan harapan agar peternakan babi di Bali dapat kembali tumbuh seperti sebelumnya.
Ia menyoroti penurunan jumlah peternak rakyat yang dulunya menjadi tulang punggung produksi babi di Bali.
"Sekarang, peternak besar yang mendominasi. Kami ingin peternak rakyat bisa kembali eksis seperti dulu," ujarnya.
Komunikasi antar pelaku usaha dinilai menjadi kunci untuk menghadapi situasi ini. Hari Suyasa bersyukur bahwa pelaku usaha pemotongan dan pengiriman babi telah mulai berdialog dengan para peternak.
Namun, ia menekankan perlunya dukungan pemerintah dalam menciptakan keseimbangan antara produksi dan distribusi, sehingga harga daging babi bisa kembali stabil dan terjangkau bagi masyarakat.
Konunikasi terhadap ajegnya kuliner dan budaya Bali, Hari berpikir berbeda, ia menyebutkan bahwa adanya besaran serapan itu justru dapat mengajegkan peternakan babi di Bali. (Ray)