BTID Tepis Isu Miring KKPRL dikawasan Kura Kura Bali

BTID Tepis Isu Miring KKPRL dikawasan Kura Kura Bali
Dok : Sumber data Pengelolaan Sumberdaya dan Laut ( BPSL ) Denpasar

BPSPL ( Balai Pengelolan Sumber Daya Pesisir Laut ) menerangkan kejelasan mengenai KKPRL merupakan upaya Penarikan PNBP dari Perusahaan yang melakukan Pengusahaan diruang laut Bukan penguasaan.

Denpasar - Humas PT Bali Turtle Island Development (BTID), Zakki Hakim, menepis adanya isu di beberapa Media Online terkait permasalahan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL), juga disebutkan BTID berkeinginan untuk menguasai wilayah laut dan Pulau Serangan secara keseluruhan tidaklah benar adanya.

"Jadi tidak benar dikatakan adanya pengaturan dan pembatasan akses masuk masyarakat nelayan tradisional. Justru Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) itu adalah aturan yang datang dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)," ungkap Zakki, Rabu (11/10/23).

Zakki menjelaskan, BTID sebagai Badan Usaha Pembangun dan Pengelola Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Kura Kura Bali berusaha meluruskan kekeliruan yang terjadi, terkait pada pembayaran Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) saja. Dikatakan masyarakat sebagai nelayan tradisional tetap bisa berkegiatan seperti biasa. Kecuali, nelayannya berubah menjadi badan hukum atau badan usaha.

Dalam hal ini, pemerintah pusat mengumpulkan PNBP dari badan usaha yang melakukan kegiatan ekonomi di ruang laut, tetapi tidak berlaku bagi masyarakat nelayan tradisional, yang dimaksudkan adalah BTID atau badan hukum lain (termasuk BUMN, BUMD, Dinas), melakukan kegiatan ekonomi di ruang laut harus membayar semacam retribusi (PNBP) kepada Pemerintah Pusat.

"Untuk bisa membayarnya adalah melakukan pengajuan PKKPRL kepada KKP, agar bisa dihitung biayanya, kondisi ini tidak berlaku bagi masyarakat nelayan tradisional," jelas Zakki.

Menurutnya, PKKPRL merupakan syarat utama, dikarenakan BTID adalah KEK Pariwisata dan Industri Kreatif, didalam kegiatannya juga berkaitan dengan pengembangan “Taman Koral” dan “Wisata Koral”, sehingga diperlukan penataan PKKPRL oleh KKP dan DKP antara areal konservasi, areal wisata dan areal budidaya komersil.

"Dengan penataan ini, ditata agar kegiatan budidaya komersil tidak tumpang tindih dengan wisatawan yang sedang snorkeling atau diving. Kedua kegiatan bisa berjalan beriringan dan saling menguntungkan," ungkapnya.

Ia menambahkan, BTID sebagai salah satu perusahaan budidaya Terumbu Karang juga wajib mengajukan PKKPRL kepada KKP, karena kegiatan ekonominya memanfaatkan ruang laut. Hal ini, menurut Zakki, tidak berlaku bagi masyarakat sebagai nelayan tradisional sekitar.

Selain itu, Zakki menegaskan bahwa pengajuan PKKPRL tersebut adalah untuk “pengusahaan” ruang laut, bukan “penguasaan” ruang laut.

"Masyarakat nelayan tradisional seharusnya tidak terdampak dari kebijakan pemerintah ini, karena kebijakan ini diarahkan agar pemerintah pusat dapat menarik PNBP dari para pengusaha, badan usaha atau badan hukum yang melakukan kegiatan ekonomi di ruang laut, dan tidak menarik PNBP dari nelayan," pungkasnya.

Untuk diketahui, dalam ketentuan pada Pasal 11, Peraturan Presiden Nomor 34 Tahun 2019, Pasal 10 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 8 Tahun 2019 dan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Nomor 17 Tahun 2016, yang ditekankan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) adalah memperketat aturan main dalam pemanfaatan Pulau-pulau Kecil di Indonesia. Salah satunya, melarang penguasaan pulau secara utuh.

"Investor tak dapat menguasai satu pulau secara utuh," ujar Muhammad Yusuf, Direktur Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (KKP), kamis  (26/10/23). (Tim )