Libatkan Masyarakat dalam Melestarikan Budaya dengan Teknologi Open Data

Libatkan Masyarakat dalam Melestarikan Budaya dengan Teknologi Open Data
Letusan Gunung Krakatau Tahun 1883 (Sumber : (Richard Hamblyn, 2012))

Oleh: I Gede Totok Suryawan

Indonesia merupakan negara yang kaya akan suku, budaya dan adat istiadat yang tersebar di semua pulau nusantara. Warisan budaya yang ditinggalkan oleh nenek moyang wajib kita jaga dan lestarikan bersama. Pelestarian budaya ini menjadi sangat penting sebelum kita kehilangan warisan yang adi luhung ini. Seperti yang dialami suku Atayal yang merupakan satu dari 13 kelompok adat resmi di Taiwan dan merupakan kelompok pribumi terbesar di Taiwan. Suku ini memiliki dua identitas yang sangat kuat yaitu tato wajah dan menenun. Tato wajah merupakan identitas etnis, sebagai indikator tempat seseorang dan sebagai syarat wajib untuk seorang pria sebelum menikah. Sedangkan menenun adalah kemampuan wajib yang harus dimiliki oleh seorang perempuan, juga digunakan sebagai syarat menikah dan kain tenun digunakan untuk busana pernikahan (Yoshimura Mami, 2010). Berikut adalah contoh gambar tato wajah suku Atayal di Taiwan.

Tato Wajah Suku Atayal Taiwan  (Sumber : (Writter, 2008))

 

Tahun 1895 sampai dengan 1945 saat kependudukan Jepang mereka dipaksa masuk ke desa pemukiman dan diharuskan untuk meninggalkan kegiatan sosial budaya mereka. Tahun 1960 mereka menggantungkan pendapatan mereka dari pariwisata internasional. Tahun 1990 Cina sebagai tujuan pariwisata alternatif yang kompetitif di Asia Tenggara dan disetujui otoritas Cina sebagai tujuan pariwisata membuat pariwisata Atayal menjadi sepi. Mulai tahun 1997 mereka meninggalkan pariwisata mereka dan kembali menenun. Mereka merevitalisasi tenun Atayal, menelusuri kembali sejarah tenun untuk direkonstruksi. Gambar di bawah ini merupakan ilustrasi penenun sedang memperagakan teknik tenun Atayal.

Penenun Tenun Atayal (Sumber : (Tzu-ti, 2018))

 

Sebagai pewaris dari kebudayaan nusantara yang adiluhung kita tidak perlu mengalami seperti yang dialami suku Atayal untuk melestarikan budaya yang kita miliki. Dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kita miliki kita bisa berperan dalam melindungi, melestarikan, dan menguatkan budaya yang kita miliki. Perkembangan teknologi yang begitu cepat memiliki peluang yang sangat besar dalam melestarikan budaya. Salah satu teknologi yang bisa digunakan adalah teknologi open data untuk open culture

Konsep open culture secara digital ini memungkinkan berbagai pihak untuk melakukan pertukaran pengetahuan dan partisipasi masyarakat di bidang budaya. Dengan open culture ini materi budaya bisa diakses dan digunakan oleh masyarakat dari berbagai latar belakang yang berbeda. Salah satu proses penting dari open culture ini adalah digitalisasi budaya yang merupakan upaya pelestarian budaya untuk generasi mendatang dengan bantuan teknologi dan infrastruktur digital. Mengkonversi materi fisik menjadi format digital dan transformasi di dalam platform digital untuk dibagikan kembali kepada masyarakat.

Berbagai proses transformasi yang didukung oleh perkembangan teknologi, sosial budaya dan perubahan di masyarakat bisa kita lihat dalam kehidupan sehari hari. Pertama kita tidak menyadari kalau keseharian kita kebanyakan dihabiskan di ranah daring. Kita sudah terbiasa terhubung, bertemu, dan berdiskusi secara daring, di media sosial dan platform digital lainya. Kita tidak perlu meninggalkan rumah untuk mencari hiburan, maupun untuk belajar tentang suatu hal. Sudah tersedia berbagai macam platform untuk melakukan hal tersebut, dan generasi muda menghabiskan waktu secara daring jauh lebih banyak dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Tidak hanya generasi muda perlahan orang yang terkoneksi dengan internet semakin terus bertambah. Hal ini sejalan dengan data yang dikeluarkan oleh Hootsuite (We Are Social) seperti yang terlihat pada gambar berikut ini.

Tren Pengguna Internet dan Media Sosial Tahun 2022 di Seluruh Dunia (Sumber : (We Are Social, 2022))

 

Waktu Orang Indonesia Mengakses Media Digital Tahun 2022 (Sumber : (We Are Social, 2022))

 

Fenomena ini menuntut ketersediaan materi budaya untuk hadir di tempat orang banyak menghabiskan waktunya yaitu media digital. Selain itu muncul juga kebutuhan masyarakat untuk mengetahui materi budaya asli dan palsu. Mereka harus memastikan bahwa lembaga penyedia data dan materi warisan budaya yang tersedia di platform digital dapat digunakan oleh setiap orang sebagai informasi terpercaya dan berkualitas tinggi. Hal ini memunculkan sebuah ide untuk membangun sebuah platform open culture yang merupakan sebuah ruang untuk berbagi, belajar, dan berkolaborasi atau pertukaran ide tentang seni dan budaya. Platform ini memungkinkan konten budaya bisa diakses oleh setiap orang baik untuk kepentingan penelitian, rujukan pribadi atau sekedar untuk memenuhi rasa penasaran seseorang tentang kebudayaan tertentu. Ide kepemilikan kolektif ini dilahirkan oleh Elinor Ostrom peraih nobel bidang ekonomi tahun 2009 untuk analisis ekonomi berkaitan dengan pemerintahan dan sistem kepemilikan kolektif. Ia meneliti berbagai sumber daya lokal yang mengelola dan menggunakan sumber daya terbatas dengan sejumlah aturan yang diawasi bersama, dan sanksi akan dikenakan bagi siapa saja yang melanggar aturan tersebut. Sumber daya seperti alam, padang pasir bisa digunakan oleh komunitas tanpa eksploitasi dan intervensi dari pemerintah. Iya menyatakan bahwa komunitas berhasil mengelola berbagai sumber daya melalui kolaborasi dan rasa tanggung jawab atas sumber daya tersebut (Wikipedia, 2022). 

Beberapa contoh open culture yang sudah ada saat ini salah satunya adalah Public Domain Review. Website ini dikelola oleh sekelompok relawan yang mengumpulkan harta benda domain public sehingga setiap orang bisa melihat dan menggunakan sesuai dengan keinginan mereka. Di website ini kita bisa melihat berbagai gambar, tulisan, video serta film lama yang susah untuk kita dapatkan di media lainya. Salah satu contohnya adalah gambar tentang letusan gunung Krakatau 1883 yang membuang miliaran ton abu dan puing-puing jauh ke dalam atmosfer atas bumi dan membuat langit dunia di malam hari bersinar selama berbulan-bulan dengan warna-warna aneh. Peristiwa ini membuat hampir 40.000 orang tewas oleh serangkaian gelombang pegunungan yang dihempaskan oleh kekuatan ledakan. Penomena ini dicatat oleh seorang penyair Gerard Manley Hopkins pada akhir Desember 1883 dia mengumpulkan pengamatannya menjadi 2.000 dokumen kata yang luar biasa, dan pada bulan Januari 1884 artikikelnya diterbitkan oleh jurnal sains terkemuka yaitu Nature Journal. Berikut adalah gambar potret letusan gunung Krakatau tahun 1883 dan penyair Gerard Manley Hopkins.

Letusan Gunung Krakatau Tahun 1883 (Sumber : (Richard Hamblyn, 2012))

 

Contoh gambar lain di Public Domain Review adalah beberapa gambar yang dibuat oleh para seniman Perancis pada akhir abad 19. Salah satunya adalah gambar mesin pembersih elektronik yang menggambarkan dunia di tahun 2000 sesuai imajinasi mereka saat itu. Dan gambar mesin pembersih elektronik ini mirip dengan robot vacuum cleaner yang kita kenal saat ini. Berikut adalah gambar mesin pembersih elektronik yang dibuat oleh para seniman Perancis.

Mesin Pembersih Elektronik (Sumber : (Review, 2012))

 

Selain digitalisasi budaya, open culture ini bisa memfasilitasi peneliti seperti yang dilakukan di Jerman, dalam sebuah platform Buerger Schaffen Wissen yang mengakomodir citizen sains untuk mengilustrasikan konsep dan gambaran umum proyek sains masyarakat setempat. Proyek sains ini sangat memerlukan partisipasi masyarakat untuk meningkatkan kualitas output proyek sain mereka. Seperti contoh mereka memiliki ribuan peta sejarah dan foto udara namun mereka tidak memiliki referensi geografis untuk peta-peta tersebut. Sebagai bagian dari proyek sains ini masyarakat dilibatkan untuk melengkapi referensi untuk materi-materi tersebut (Wissen, 2013). 



Referensi

Review, P. D. (2012). A 19th-Century Vision of the Year 2000. Public Domain Review.

Richard Hamblyn. (2012). The Krakatoa Sunsets. Public Domain Review. https://publicdomainreview.org/essay/the-krakatoa-sunsets

Tzu-ti, H. (2018). Taiwan’s Taichung World Flora Exposition to feature Atayal textile arts. Taiwan News. https://www.taiwannews.com.tw/en/news/3480667

We Are Social. (2022). Digital 2022: Indonesia. In Datareportal.Com. https://datareportal.com/reports/digital-2021-indonesia

Wikipedia. (2022). Elinor Ostrom. Wikipedia. https://en.wikipedia.org/wiki/Elinor_Ostrom

Wissen, B. S. (2013). About Our Platform. Buerger Schaffen Wissen. https://www.buergerschaffenwissen.de/en

Writter, S. (2008). Atayal woman revives full facial tattooing tradition. Taipei Times. http://www.taipeitimes.com/News/taiwan/archives/2008/01/22/2003398275

Yoshimura Mami, W. G. (2010). The Reconstruction of Atayal Identity in Wulai, Taiwan. Nordic Institute of Asian Studies (NIAS) Press.