Bendesa Serangan Mengelak Lepas Tanggung Jawab Soal Kasus LPD Serangan

Bendesa Serangan Mengelak Lepas Tanggung Jawab Soal Kasus LPD Serangan
Dok : Istimewa/sumber google

Bali Satu Berita | Denpasar - Terkait adanya polemik masyarakat Desa Adat Serangan tentang adanya pelepasan tanggung jawab keuangan Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Serangan yang sudah berjalan di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar, ditanggapi oleh Bendesa Serangan, Made Sedana, yang mengelak dikatakan lepas tanggung jawab oleh kasus tersebut.

Sebelumnya ramai diberitakan, I Wayan Patut selaku Kelian adat Banjar Kaja (2019), pada Jumat (21/10/2022) mengatakan, bahwa pelaporan yang pihaknya lakukan pada Juli 2020, menolak laporan keuangan LPD Serangan, karena diduga ada sejumlah kredit fiktif yang tertuang dalam laporan keuangan tersebut.

"Kredit atas nama perusahaan, kita melihat ini tidak fair karena LPD untuk masyarakat Adat dan tidak ratusan juta begitu," terang Patut, Jumat (21/10/2022).

Disebutkannya, adanya kredit atas nama salah satu masyarakat adat Desa Serangan itu dikalikan sampai 3 pinjaman sedangkan yang diterima orang tersebut tetap satu. Bahkan ada yang tidak melakukan pinjaman ditulis meminjam.

Untuk menanggapi temuan ini disarankan oleh pihak Pemerintah Denpasar untuk membentuk 'Tim Penyelamatan LPD Desa Serangan', tim ini bergerak menelusuri aset LPD yang ada sekitar 4,8 milliar Rupiah yang terdiri dari tabungan, deposito dan aktiva tetap dan aktiva yang bergerak. Dari hitungan tersebut ditemukan pinjaman di masyarakat tidak lebih dari 800 juta Rupiah, dari sisa 3,8 Milliar dihitung tertera nama Dream Work, Water Sport 1, Water Sport 2 sampai 3 bahkan ada pinjaman atas nama sekretaris Water Sport.

Sementara itu, Bendesa Adat Serangan selaku pengawas LPD Desa Adat Serangan, I Made Sedana saat dikonfirmasi langsung dirumahnya pada Minggu (23/10/2022) membantah adanya tudingan tersebut, menurutnya tudingan tersebut dibuat hanya untuk menjatuhkannya sebagai Bendesa Adat.

"Masalah LPD kan masih ditangani oleh Kejaksaan, kok mereka itu sok-sok tau hukum. Hasil audit itu belum tentu pasti, kan sudah dibuktikan dipersidangan. Tanda tangan saya dipalsukan semua dipalsukan, semua beda tidak benar itu semua yang dikatakan," ungkapnya.

Kembali, Wayan Patut di hari yang sama (23/10/2022) saat ditemui langsung memastikan, bahwa ada juga dugaan penggelapan yang dilakukan pihak LPD Serangan, yakni Deposito atas nama Takahara Yukio (WNA asal Jepang). 

"Deposito Takahara Yukio bernilai 2 Milliar (November 2015), sementara ada keterangan juga Deposito atas nama yang sama sebesar 600 juta rupiah. Sedangkan tanda tangan dengan nama yang sama tersebut berbeda sekali," jelasnya kepada awak media.

Menurutnya, dalam penelusuran tim ditemukan sisa dari 1,4 Milliar yang seharusnya menjadi hak desa Adat dipergunakan untuk kepentingan pribadi dari Bendesa Adat Serangan. 

"Lucunya uang 600 juta deposito di berikan bunga oleh LPD, sedangkan 1,4 Milliar itu diberikan bunga oleh Bendesa tetapi pembayarannya ditalangi (kasbon) dulu oleh LPD. Dan kami mengkroscek tidak ada kejelasan juga soal pembayaran kasbon itu, "tekannya, yang pada akhirnya dilaporkanlah hasil audit investigasi itu kepada Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali pada tanggal 25 maret 2021.

Menyalahgunakan kewenangan inilah menjadi ranah yang sangat urgent untuk disikapi oleh pemerintah Bali. Agar keuangan Desa Adat ini kedepannya dapat benar-benar bermanfaat bagi masyarakat adat secara luas, bukan menguntungkan segelintir oknum pengurus / prajuru.

Ranah Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang dibebankan oleh oknum pelaku penggelapan dan manipulasi dana warga Desa Adat Serangan ini, dikhawatirkan oleh sebagian warga masyarakat Adat Desa Serangan adalah tentang dana yang sudah tergerus untuk kepentingan pribadi oknum prajuru tersebut.

Selanjutnya, I Nyoman Gede Priatha selaku tokoh masyarakat Serangan juga ikut bersuara menanggapi, monopoli kredit yang dilakukan oknum Bendesa tersebut sungguh memukul kesejahteraan warga Desa Adat Serangan. 

Ia juga mengatakan pihak Hukum harusnya lebih jeli melihat dampak sosial yang diakibatkan dari perbuatan ini, kekhawatiran terhadap hukum yang terjadi juga dilontarkan oleh Nyoman Priatha. 

"Legitimasi dan Mosi tidak percaya ini seharusnya dijawab oleh pihak penegak hukum, agar masyarakat bisa jelas melihat apa yang sesungguhnya terjadi"

Dirinya menyebut juga, bahwa bantuan dari BTID soal pemukiman yang dijanjikan dalam MoU sebelumnya, dirinya pernah mendengar itu di rapat-rapat banjar.

Pihak BTID sudah menyerahkan lahan seluas 7,3 Hektar hanya belum dimaanfaatkan sebagai lahan pemukiman, kebanyakan dikontrakkan yg memberi keuntungan pribadi.

"7,3 hektar itu untuk pemukiman masyarakat. Sudah diserahkan BTID kepada desa adat tetapi hak masyarakat itu dikebiri dan sudah ditanyakan," ujarnya.

Soal tanah hak dari masyarakat itu dikabarkan juga telah dikontrakan juga untuk villa dan lainnya.

Terkait hal tersebut, I Made Sedana kembali menepis adanya tudingan tersebut, menurutnya Nyoman Priatha mengatakan hal tersebut tanpa adanya fakta.

"Dibilang saya mengtorakan itu tidak benar, yang disewakan ini semua atas keputusan dia. Bukan saya mengontrakan sendiri. Tidak ada yang benar itu kata mereka," tegasnya. (Tim / WB / BSB )