Ada Apa ? Penolak Terminal LNG Sidakarya Dituding Standar Ganda

Ada Apa ? Penolak Terminal LNG Sidakarya Dituding Standar Ganda
Dok : Ilustrasi / Istimewa

Bali Satu Berita | Denpasar – Munculnya aksi penolakan alih fungsi lahan Hutan Mangrove dari warga Intaran Sanur dan Walhi Bali yang rencananya dimanfaatkan sebagai Terminal Liquefied Natural Gas (LNG) Sidakarya malah belakangan aksi itu dituding berstandar ganda.

Pasalnya, penolakan terminal LNG dibalik lahan Tahura Ngurah Rai seluas 2,3 hektar (Ha) dimanfaatkan sebagai Embung Sanur yang nyaris tanpa ada penolakan, baik dari warga Intaran Sanur begitu juga dari Walhi Bali disebut-sebut sebagai upaya yang belunder.

“Penolakan alih fungsi lahan yang masih rencana terkait Terminal LNG Sidakarya seakan terlihat ada Standar Ganda dalam aksi penolakan yang juga membawa kepentingan Niskala. Secara logika, mestinya hal berhubungan Niskala Alam Gaib mestinya Konsisten Tegakan Kawasan Hutan Mangrove menjaga dan melestarikan tanpa kecuali jika memang tujuannya menjaga Mangrove tanpa ada tujuan lain,” singgung A.A. Aryawan, ST akrab disapa Gung De disampaikan kepada wartawan di Denpasar, Rabu (29/06/2022)

Gung De tokoh pemerhati sosial lingkungan dan mantan pengurus Partai Golkar Denpasar yang sekarang duduk dalam kepengurusan Partai Perindo Bali ini mengingatkan, masih terbayang Aksi Tolak Reklamasi Kawasan Suci Teluk Benoa dengan aksi Ritual Niskala seperti ‘Ngaturang Pekelem’ dan ‘Nyegara Gunung’ yang juga banyak peserta ‘kerauhan’.

Namun sisi lain ia katakan, Kawasan Suci Teluk Benoa juga Tetap di Reklamasi oleh Pelindo 3. Seakan keinginan ‘Sekala’ masyarakat para pejuang Lingkungan saat itu dalam menolak Reklamasi Teluk Benoa dengan membawa Ritual Niskala menjadi terkesan berstandar Ganda.

“Jika Alam Niskala melihat Kawasan Suci Teluk Benoa tentu merupakan satu kesatuan utuh bukan antara siapa yang mereklamasi. Jadi aturan Perundangan wajib berlaku sama tanpa kecuali. Mestinya kan Tolak Investor bukan Reklamasi Teluk Benoa sampai dilakukan Ritual Niskala,” sindirnya.

Dalam perkembangan masyarakat melakukan aksi penolakan sebuah rencana pembangunan, memang semua harus mengacu pada Konstitusi yang berlaku, bukan dengan isu suka atau tidak suka.

Saat ini sambung Gung De, bicara Terumbu Karang mestinya bersikap sama dengan Pelabuhan Matahari Terbit yang juga ada kegiatan tengah laut lepas. Bandingkan dengan laut dangkal rencana dibangun terminal LNG yang merupakan kawasan pasang surut laut, seberapa banyak ada terumbu karang?

“Tidak semua orang punya sudut pandang sama dalam berpendapat melihat masalah yang terjadi dalam kebijakan pemerintah. Jadi jangan karena Proyek Pembangunan Pemerintah Pusat kita selalu menyetujui, akan tetapi Proyek Pembangunan kerjasama dengan Pemerintah Daerah malahan kita ribut,” imbuhnya.

Disinilah kita sebagai masyarakat mesti melihat semuanya secara utuh dengan kecerdasan, bukan emosi sesaat sehingga banyak kepentingan pribadi atau kelompok masuk ke dalam aksi penolakan.

Gung De menegaskan, memang benar masyarakat melakukan aksi penolakan itu adalah sesuatu yang dilindungi undang-undang sebagai bagian dari berkumpul untuk berpendapat. Tapi tentu, pendapat yang berbeda dengan sudut pandang lain yang bisa memberi manfaat besar khususnya untuk masyarakat Bali juga harus dihargai.

“Sama seperti Proyek Reklamasi TWBI kerjasama dengan Pemprov Bali kita ribut demo berjilid-jilid tapi saat Investor kerjasama dengan Pelindo 3 kita Bungkam. Mari kita saling mengingatkan demi pembelajaran yang baik terhadap masyarakat khususnya generasi penerus Bali. Kita mesti cerdas, jangan mudah ‘milu milu tuwung’ (hanya ikut-ikutan) tanpa data dan melihat fakta secara menyeluruh,” saran Gung De. [ dn / BSB ]